Thursday, December 31, 2009

Daun musim gugur

Ini lagu sedih. Sungguh. Untuk menghayatinya engkau harus merasakan suasana kehilangan. Kehilangan orang yang engkau cintai. Bayangkanlah dia memandangmu untuk terakhir kalinya, lalu pergi begitu saja. Dan, ketika musim gugur tiba, dedaunan yang jatuh menimpa kaca jendela adalah dukamu....; betapa hari menjadi amat panjang semenjak dia meninggalkanmu, yang tersisa hanya lembut elusan tangannya dan hangat sentuhan bibirnya .....

Ternyata ada beberapa versi Autumn Leaves ini. Dua yang paling aku suka adalah versi Nat King Cole dan versi Nana Mouskouri. Aku catatkan liriknya, dan aku beri link kalau engkau pingin mengunduhnya.

Aku tulis ini dalam catatan, bukan karena Gus Dur atau Frans Seda berpulang. Dua-duanya orang besar, tapi nggak ada hubungannya dengan lagu ini.

Autumn Leaves (Nat King Cole version)

The falling leaves drift by the window
The autumn leaves of red and gold
I see your lips, the summer kisses
The sun-burned hands I used to hold

Since you went away the days grow long
And soon I'll hear old winter's song
But I miss you most of all my darling
When autumn leaves start to fall

Autumn Leaves (Nana Mouskouri version)

Autumn leaves fall and are swept out of sight
The words that you said have gone too
Autumn leaves fall and are swept out of sight
So are the memories of love that we knew
The wind of forgetfulness blows then
Into the night of regret,
The song you would often sing
Is echoing, echoing yet

The falling leaves drift by the window
The autumn leaves of red and gold
I see your lips, the summer kisses
The sun-burned hands I used to hold
Since you went away, the days grow long
And soon, I'll hear old winter's song
But I'll miss you most of all, my darling,
When autumn leaves start to fall
When autumn leaves start to fall

..........(dari catatan facebook)

Autumn Leaves by Nat King Cole  
Download now or listen on posterous
Nate King Cole - Autumn Leaves.mp3 (3166 KB)

Autumn Leaves by Nana Mouskouri  
Download now or listen on posterous
Nana Mouskouri-Autumn Leaves.mp3 (4792 KB)

Posted via email from catatan's posterous

Saturday, December 19, 2009

DCT I dan DCT II DitProfDik

9-13 des 09 ada undangan ke Aston Marina Hotel & Apartment untuk
acara palatihan DCT I yg diadakan oleh DitProfDik. Melihat susunan
acara yg tidak mencantumkan aku sbg presenter atau narasumber
sebenarnya membuat aku ragu. Untuk apa diundang kalau tak jelas
perannya. Mungkin hanya sebatas sbg fasilitator saja. Telpon dari Ibr
cukup bisa meyakinkan aku bahwa memang diperlukan bantuan beberapa
teman yang secara unofficial adalah NCT. Selain aku memang ada
beberapa teman lain yg diundang: EK, Dj dan beberapa lagi, baik
sebagai narasumber maupun fasikitator. Bahkan W juga diundang meski
jelas tdk bisa hadir karena masih kurang sehat dan ada pekerjaan di
kantornya. Menurut Ibr ia merencanakan ada simulasi untuk tiap topik.
Untuk bisa penuh mengikuti acara ini, aku terpaksa membatalkan
undangan dari Dit PSMA untuk mem-validasi Draf Uji Kompetensi TIK-SMA
di hotel Saphir Yogyakarta.
Sengaja aku berangkat pagi dari Semarang karena berencana mampir ke
Senayan untuk presensi rutin terkait tugas sebagai konsultan jangka
pendek. Di Senayan hanya sampai jam 14.00, ke Aston nebeng mobilnya
JS.
Rencana Ibr tidak berjalan baik karena susahnya koordinasi dengan US
dan DS. Sesi yang benar-benar memerlukan bantuan hanya sesi LS-nya
Ibr. Di sesi US dan DS aku hanya memoderatori sambil menyimak
presentasi yang katanya waktu PCT kemarin (di Millenium, 6-9 Des 09, W
datang sebagai PCT dari Jabar) bermasalah. Memang sih, presentasi
mereka kurang memuaskan. Tapi bagaimana lagi? Kesalahan mungkin
terletak pada kendali kualitas modul yang dibuat.
Ibr sendiri pulang hari Jumat malam, sehingga Sabtu aku harus
konsentrasi ikut menjaga jadwal presentasi. Minggu pagi aku baru
pulang untuk datang kembali Senin siang. Acaranya sama, hanya saja
kali ini untuk DCT wilayah yang belum ter-cover kegiatan sebekumnya.

13-17 Des 2009, di Aston Marina Hotel & Apartment, acaranya Pelatihan
DCT II. Aku sendir baru datang Senin sore. Ada rasa nggak enak
sebenarnya, karena pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa
kedatanganku tidak begitu penting. Tapi, ada undangan dan tiket sudah
dibeli. W tidak datang karena masih sakit dan kantornya sangat sibuk.
Belakangan juga baru kutahu DjE dan EK jug nggak bisa datang karena
tugas-tugas di kantornya. jadilah aku satu-satunya fasilitator yang
bukan nara sumber. Nggak enak, tapi ya sudahlah. Sekali-kali merasakan
tidak nyaman karena datang dengan fungsi tidak jelas dan rasanya
seperti makan 'HR buta' saja. Ditengah acara datang dua undangn: 19-21
Des 2009 di Acacia untuk menyelesaikan laporan PJJ S1 PGSD, dan 21-23
Des 2009 di Aston Marina untuk koordinasi Program BERMUTU.
Saat nulis ini aku sedang di bandara Ahmad Yani. Lion JT505 yang
seharusnya takeoff jam 11.15 belum menampakkan hidungnya. Di board
pengumuman estimasi keberangkatannya adalan jam 12.10, artinya masih
25 menit lagi. Sumpah, berusaha nggak naik Lion lagi kalau nggak
terpaksa .....

Posted via email from catatan's posterous

Sunday, December 13, 2009

Diskon

Pagi ini, menuruti pesanan yg di rumah, aku mampir di antrean para
pembeli donat, di dekat pintu ke luar T3 BSH. Jam boarding masih lama,
dan aku sdh check-in, jadi tidak apa-apa ikut antre yang panjangnya
spt gerbong kereta ekonomi itu. Lumayan lama shg aku bisa menghitung
antrean di depanku, ada 15 ibu (termasuk nona-nona muda dan dua bapak
(that's me and one 'bule'). Semua (ya, semua!) ibu membeli lebih dari
satu lusin donat. Bule di depanku, ketika sampai pada antreannya, cuma
bertanya: "Can I have coffee ?". Pelayan menjawab singkat: "Go right
there, Sir. To the coffee bar." Menydari salah antrean, dengan tenang
dia ke luar antrean menuju coffe bar yang sepi antreannya. Pelajaran
pertam, jangan menggerutu kalau kesalahan pada kita. Antrean sampai
pada giliranku. Sesuai pesanan, aku beli satu lusin. 59 ribu. Mahal?
Ya iyalah, itu senilai upah tukang batu rumahan di Semarang. Tetapi,
bukan itu inti ceritanya. Penjualnya merayu:"Nggak sekalian dua lusin,
Pak? Kami beri harga istimewa untuk lusin kedua dan kelipatannya, lho
Pak?" Aku tersenyum maniez (kali aja). "Nggak, terima kasih". (sambil
berkonklusi: jadi ibu-ibu di depanku tadi memanfaatkan "diskon" untuk
memperoleh donut lusin kedua dengan harga "hanya" 40 ribu. Maka aku
jadi tertarik dengan ibu-ibu di belakangku. Benar juga, setelah dirayu
dan bertanya : "sudah termasuk pajak?", serta dijawab "ya", si ibu
memutuskan membeli lusin kedua, meskipun terlihat bingung memilih
varian donat yg akan dibeli. Hipotesis yang kuajukan: ibu-ibu lebih
mudah terpengaruh bujukan, termasuk bujukan 'diskon', 'menghemat', dsb
meskipun mungkin dengan mengalahkan pertimbangan rasionalnya. (Aku
tahu, ini simpulan gegabah karena aku kenal ibu-ibu yg malah lebih
rasional daripada aku). Dalam konteks membeli donat tadi bukan alasan
rasional yg menyebabkan aku membeli satu lusin, melainkan: (1) istriku
pesan cuma satu lusin dengan pilihan varian yang disukai Ido, (2)
kalau beli terlalu banyak, khawatirnya Ido jadi hiperaktif. Jadi
bujukan tadi gagal karena dua alasan itu. Sayang juga sih, diskon
19-ribu dilewatkan. He ..he..he

Posted via email from catatan's posterous

Wednesday, December 09, 2009

Random Hearts

Aku baru saja selesai mengunduh film arahan Sidney Pollack buatan
tahun 1999 ini. Film ini pernah beberapa kali diputar di TV dan
karenanya aku pingin mendapatkan kembali CD atau DVD-nya untuk
menonton ulang. Setelah pusing mencari-cari, mulai dari tempat
penyewaan sampai lapak-lapak penjual CD ilegal dan tidak ketemu juga,
maka mulailah pencarian dengan bantuan Paman Google ditambah
mengubak-ubak situs-situs file sharing. Ketemulah akhirnya setelah
upaya penuh perjuangan seharian ditambah mengunduh semalaman.

Ceritanya tidak terlalu istimewa dan bisa digolongkan genre
drama-romantik. Selain kuat pengkarakteran tokohnya, film-film arahan
Pollack memang indah garapannya. Sepanjang tayangan film, gambar yang
terambil tampak begitu indah meskipun adegannya sederhana. Bagiku,
baju-baju yang dikenakan artisnya juga tampak sangat elegan. That’s
all for puja-puji mengenai asesorinya.

Saat ini aku ingin bercerita tentang isi cerita Random Hearts.
Kata-kata yang sederhana namun kuat dan bisa mewakili cerita ini
adalah yang diucapkan oleh van de Broecks (kalau tak salah tulis) pada
setengah penggal akhir cerita, ketika ia yakin bahwa isterinya telah
berselingkuh dan menyembunyikannya dengan rapi sampai kecelakaan
pesawat terbang merenggut nyawa isteri dan kekasihnya. Setengah
bergumam ia berkata, pada dirinya sendiri, : “We make loved that
morning”. Ya, pagi itu ia dan isterinya memang bercinta, dan
digambarkan dengan sangat baik. Pagi, diantara ketergesaan isterinya
menerima berbagai telepon dan ia sendiri yang bertugas menjadi sersan
polisi, adegan percintaan itu tergambar dengan sangat baik meskipun
sederhana layaknya gambaran percintaan suami-isteri. Sederhana,
maksudnya tidak ada perilaku menggebu-gebu seperti pasangan yang masih
penuh bara berahi. Cerita selanjutnya lebih menonjolkan liku-liku
cerita van de Broecks mengungkap affair istrinya dan kemudian
terjebak oleh pesona Kay Chandler, istri dari kekasih gelap istrinya.
Bingung? Jangan!

Kay Chandler adalah wanita cantik calon senator partai republik yang
sibuk. Suaminya seorang pengusaha(?). Kehidupan mereka tampak cukup
harmonis. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda ketidakcocokan, tidak
tergambar adanya pertengkaran. Rumah tangga yang biasa saja, tidak
tampak adanya riak-riak yang bisa menjadi benih bagi
ketidakharmonisan. Yang tergambar adalah orang-orang yang sibuk. Maka
Kay Chandler menganggap biasa saja ketika suaminya pamit ke New York
untuk urusan pekerjaan.

Sementara itu, di antara kesibukan sebagai polisi, Van de Broeck
digambarkan sebagai polisi yang sibuk di jalanan. Penggambarannya
sederhana tetapi mengena. Secukupnya, sehingga tidak merusak alur
cerita. Diantara kesibukannya, ketika mampir ke minimarket untuk
membeli beberapa kebutuhan harian, ia juga tidak mencermati berita
kecelakaan pesawat yang nantinya justru akan menjadi pokok cerita.
Seperti biasa, sesampai di rumah ia memutar rekaman-rekaman pesan di
teleponnya. Diantara pesan-pesan itu ada juga pesan istrinya yang
mengatakan sedang di bandara untuk pergi ke Miami. Biasa saja, seperti
pesan hari-hari sebelumnya. Mendengar kata istrinya menuju Miami, dan
secara samar-samar berita tentang kecelakaan pesawat yerbang yang
sedang menuju Miami, tiba-tiba ia tersadar. Mungkinkah istrinya ikut
dalam pesawat itu? Ia telepon maskapai penerbangan yang celaka itu dan
diyakinkan bahwa tidak ada nama istrinya dalam daftar manifes
penumpang. Van de Broeck marah, tetapi petugas maskapai penerbangan
keukeuh menyatakan bahwa tidak ada nama istrinya dalam daftar manifes
pesawat. Kepada petugas yang kemudian mendatanginya, ia
memperdengarkan rekaman pesan istrinya. Van de Broeck bicara pelan
tapi tegas:” Kau dengarkan? Istriku tidak pernah bohong!” Mendengar
keyakinan de Broeck, petuga yang ingin menyanggah menjadi tidak enak
hati untuk mengatakan, bahwa mungkin saja istrinya berbohong. Dengan
hormat dan sambil meminta maaf petugas tersebut tetap pada
pendiriannya dengan mengatakan bahwa tidak ada nama Mrs. Van de Broeck
dalam manifes pesawat, tetapi juga berjanji akan memberi kabar bila
ada perkembangan lain.

Sementara itu, hasil identifikasi jenasah mendapatkan bahwa salah
seorang korban tewas adalah suami Kay Chandler. Tentu Kay Chandler
menyangka petugas telah salah mengidentifikasi. Suaminya terbang ke
New York, bukan ke Miami. Tetapi petugas kukuh menyatakan bahwa hasil
identifikasi benar. Suami Kay Chandler positif ikut tewas dalam
musibah itu. Meskipun bingung, Kay Chandler datang juga ke rumah sakit
untuk mengidentifikasi jenazah yang diduga suaminya. Ternyata benar.
Sementara itu Van de Broeck juga mengidentifikasi jenasah wanita yang
dalam manifes dinyatakan sebagai Ny. Chandler. Keduanya duduk
bersebelahan, dan dalam tayangan kondisi pesawat yang tenggelam di
danau, keduanya diselamatkan terakhir kali. Keduanya duduk
bersebelahan.

Maka mulailah naluri polisi Van de Broeck menyelidiki apa yang
sebenarnya terjadi. Apakah Kay Chandler tahu ada hubungan apa antara
Ny. Broeck dengan suaminya? Sudah berapa lama Kay Chandler tahu? Maka
mulailah Broeck mencekati Kay Chandler untuk mencari tahu hubungan
istrinya dengan Chandler. Ternyata tidak mudah melakukan penyelidikan
melalui Chandler. Chandler ingin mengubur semua pertanyaan-pertanyaan
yang juga ada di benaknya. Baginya semua telah usai, dan ia tidak
ingin membuka lagi luka dengan mencari tahu adakah affair antara
suaminya dengan istri Broeck. Berkat usaha keras dan pantang menyerah
oleh Broeck akhirnya Kay Chandler pun mencoba menyelidiki ada apa
sebenarnya antara suaminya dengan Ny. Broeck. Apalagi gelang indah
yang disangka hadiah untuk ulang tahun putri mereka, dan tersimpan
dalam kopor yang diserahkan oleh petugas maskapai penerbangan ternyata
berisi inisial nama kekasih suaminya itu. Satu demi satu terbuka, dan
menorehkan luka di hati keduanya, baik Broeck maupun Kay Chandler.
Ternyata affair sepasang kekasih itu sudah terjadi lama sekali. Mereka
bahkan punya apartemen di Miami, masing-masing memegang kuncinya.
Maka, pada suatu ketika Broeck dan Kay Chandler ketemu di apartemen
yang disewa sepasang kekasih itu. Keduanya makin dekat satu sama lain
sebagai seorang yang senasib. Kedekatan mereka digambarkan dengan
indah. Mulai dari cumbuan yang menggebu-gebu antara marah bercampur
berahi yang terpendam, sampai adegan percintaan yang romantis di dalam
kabin kecil di tengah hutan ataupun adegan romantis yang samar lewat
ucapan dan kerlingan mata Kay Chandler dan Van de Broeck. Maka lupalah
kita bahwa keduanya adalah orang-orang yang merasa dikhianati. Mereka
kemudian menjadi sepasang kekasih yang saling mendukung dan berani
menunjukkan kedekatan di depan umum meskipun disadari itu bisa
menjatuhkan popularitas Chandler sebagai calon senator. Ketika sang
calon senator ditanya wartawan:”Apakah benar suami anda punya affair
dengan istri sersan Broeck?” Dengan tenang dan jelas Kay Chandler
menjawab:” Ya benar”. Ketika wartawan mencecarnya lagi: “Benarkah Anda
ada hubungan khusus dengan sersan Broeck?”. Dengan lancar Kay
Chandler menjawab: “ Ya benar, dia adalah tipe teman yang
sebenar-benarnya teman. Dia ada ketika saya mebutuhkan seorang teman”.
Dan filmpun berakhir, sementara penonton dibiarkan menebak sendiri
kelanjutannya dengan memegang satu fakta: keduanya terlihat saling
sayang dan saling membutuhkan. Kehebatan film ini terletak pada
penggarapan Sidney Pollack. Kalau anda pernah membaca novelnya, yang
ditulis oleh Warren Adler tahun 1984, jangan bingung dengan profesi
para tokohnya yang berbeda dengan filmnya. Juga anak Kay Chandler yang
dalam film digambarkan sebagai perempuan, dalam novelnya adalah anak
laki-laki. Selebihnya, alur ceritanya sama.

Posted via email from catatan's posterous

Friday, December 04, 2009

Rama, Sinta, dan Rahwana

Dalam cerita klasik Ramayana, hitam putihnya tokoh dibuat begitu
nyata. Jelas bahwa tokoh hitam adalah Rahwana, seorang raksasa rakus
yang yang memaksa menculik Sinta untuk diperistri. Dan, Rama adalah
seorang raja tampan bijaksana, kekasih para dewa. Sesungguhnya Rama
adalah juga titisan Dewa Wisnu, sang penguasa jagad.
Mengapa Rahwana menculik dan ingin memperistri Sinta, padahal dia
adalah raja sebuah kerajaan besar. Istri-istrinya adalh wanita-wanita
cantik dari seluruh negeri. Dia juga orang raja yang amat sakti.
Akan halnya Sinta, ia adalah putri raja yang diperistri Rama dari
sebuah lomba mengangkat busur panah pusaka, yang tak seorangpun
manusia mampu menggerakkannya. Bukan hanya mampu mengangkat, iapun
bahkan mematahkan Busur panah pusaka menjadi berkeping-keping. Sinta
adalah perempuan setia yang diculik oleh karena Rahwana percaya bahwa
siapapun yang bisa memperistri Sinta akan menjadi raja agung yang
sangat disegani. Setelah melihat sendiri pesona wanita bernama Sinta,
tekad Rahwana untuk menculik Sinta semakin besar. Ia benar-benar jatuh
cinta pada Sinta. Oleh karena berhadapan muka berperang dengan Rama
pasti ia akan kalah, maka dipakailah tipu daya. Singkat cerita,
Sintapun didapat, dan dikurungnya di dalam istana yang megah. Apapun
yang diinginkan Sinta, pati dikabulkan, asal ia tidak minta
dipulangkan pada Rama. Tidak ada satupun versi yang menceritakan bahwa
Rahwana memaksa, apalagi memperkosa Sinta. Meski berwujud raksasa,
sesungguhnya ia lembut hati. Kekuasaan dan ambisilah yang menjadikan
ia tampak jahat. Yang ia lakukan adalah membujuk Sinta, dengan segala
upaya, agar Sinta mau menjadi istrinya. Seorang dayang ditugaskan
untuk melayani semua kebutuhan Sinta.
Dan Sinta adalah wanita yang lembut hati. Rasa ibanya muncul sedikit
demi sedikit. Ia sadar, kalau Rahwana mau ia bisa memaksanya tanpa
Sinta bisa melawan. Begitulah, sebagai wanita ia juga mulai membuka
diri, terharu oleh kegigihan Rahwana dalam membujuk dan merayunya.
Tampaklah oleh Sinta bahwa Rahwana benar-benar mencintainya. Cara dan
waktunya saja yang salah. Sinta sangat menyadari posisinya sebagai
seorang istri. Kesetiaan ia junjung sangat tinggi hingga sampai detik
terakhir Rama membebaskannya, ia tetaplah istri yang setia. Dengan
bantuan tentara kera yang dipimpin Anoman, Rama dapat kembali merebut
Sinta. Tapi, Rama adalah juga manusia meskipun ia titisan dewa. Ia
meragukan kesucian dan kesetiaan Sinta. Bagaimanapun, Rama tahu bahwa
Rahwana adalah raja yang sangat piawai menaklukkan wanita. Ia khawatir
bahwa istrinya telah dinodai oleh Rahwana. Ia mau menerima Sinta
kembali asalkan Sinta bisa membuktikan dirinya masih suci, belum
dijamah Rahwana. Caranya, Sinta hars sanggup terjun ke dalam api suci.
Ia akan mati terbakar bila memang sudah tidak suci lagi, dan
sebaliknya bila ia masih suci, api tidak akan mampu membakar tubuhnya.
Meski dengan berurai air mata, Sinta dengan tabah menjalani perintah
suaminya. Oleh karena Sinta sesungguhnya tetap setia pada suaminya,
meskipun pesona Rahwana nyaris memikatnya. Dalam salah satu versi,
Sinta sempat menangis berupaya mencegah Rahwana berperang menghadapi
Rama, karena ia tahu bahwa Rahwana pasti akan mati karena tidak
mungk8n menang melawan Rama. Apa jawab Rahwana: "Adindaku Sinta,
terima kasih Adinda mengkhawatirkan aku. Aku bahagia dan akan membawa
rasa bahagiaku ini kepada dewa kematian yang sebentar lagi akan datang
kepadaku. Seluruh tentaraku telah habis dan kini akulah yang harus
menghadapi Rama, suamimu, titisan Dewa Wisnu". Hampir d iluar
kesadarannya sendiri, terbawa rasa haru dan kagum, pada raksasa yang
menculiknya namun tidak pernah berani menyentuh karena kekukuhan
hatinya itu, Sinta berkata: "Baginda raja bisa lari atau berbah wujud
jadi apapun, agar bisa menyelamatkan diri" Rahwana tersenyum kecut. "A
tidak mau hidup hanya untuk Melihat diriku menjadi manusia pengecut
dan egois. Seluruh balatentaraku gugur membela kepentinganku. Aku
tidak ingin mengkhianati mereka". Dan sambil mengucapkan terima kasih
atas perhatian Sinta, Rahwanapun menghadapi Rama, nenjemput
kematiannya sendiri. Itulah terakhir kalinya Sinta melihat Rahwana.
Dan kini, ia harus menerima kenyataan bahwa suami yang sangat ia
cintai, yang sanggup membuatnya menahan segala derita dalam
mempertahankan kesucian dan kesetiaannya, tega menyuruhnya terjun ke
dalam api yang bisa merenggut kematiannya. Sinta mampu melalui ujian
itu, dan keluar dari kobaran api tanpa luka sama sekali. Rama
tersenyum bahagia dan bersiap memeluk istrinya tanda Rama mau menerima
Sinta kembali. Tapi sayang, kobaran api suci memang tidak mampu
melukai kulit mulus Sinta. Hanya hatinya yang tersayat dan tercabik
oleh kecurigaan Rama. Maka, Sintapun menolak direngkuh ke dalam
pelukan Rama. "Kakanda, mohom maaf, cinta adinda telah musnah oleh
kobaran api suci yang membakar adinda tadi. Sinta yang kakanda cintai
telah mati. Yang ada di hadapan Kakanda ini adalah wanita yang jatuh
hina karena direndahkan oleh suaminya sendiri. Mohon pamit Kakanda.
Adinda mohon diri, semoga kelak kita bertemu di Suarga loka" Maka
semestapun menangisi suratan nasib sinta, mengutuk keegoisan Rama.
Mendung mengiringi langkah kaki Sinta sehingga terik sang Surya
terhalang jatuh ke tubuh ringkih Sinta, perempuan yang kukuh pada
kesetiaan dan harga diri yang ditanamnya dalam-dalam di hatinya ...

Posted via email from catatan's posterous

Thursday, December 03, 2009

Desember 3, 2009

Sampai di bandara belum jam 5 pagi. Jadi, spt biasa, pintu bandarapun bahkan belum dibuka. Di depan pintu serombongan anak muda dari PTS lumayan terkenal sudah antre mau check-in. Agaknya mereka rombongan muhibah seni ke  Malaysia, tepatnya ke Melaka. Itu terlihat dari sticker yg dipasang di koper2 mereka.

 

[Selintas, tiba2 ingat hujan rintik suatu siang 3 oktober 2009 di depan BTC. Pesan pendek barusan kukirim, telling that I should go to J. I spend 3 days 2 night at Dg Pkr, and because there is no chance to met for lunch or just cheat n chat, I decided to go back to J as early as possible. 30 minute was passing by, and still no response).

 

jam 05.00 barulah pintu masuk dibuka. Aku berderet dalam antrean bersama calon passanger lain. Nggak sampai lima menit aku dapat boarding pass dan tentu saja nomor tempat duduk. Aku minta dekat lorong, dapat nomor 23D. Nyaris bagian ekor.

 

(Jadi ingat penerbangan Papua-Jakarta, hampir setahun lalu. Di bangku paling belakang pesawat MD90 Lion, pemandangan di sebelah kiri adalah mesin jet)

 

Terlihat rombongan penumpang mulai masuk ke ruang tunggu dalam Aku ikut rombongan, antre masuk bersama penumpang yg didominasi rombongan muhibah seni tadi.

 

(45 minutes just passed by, and still no response)

 

Saat ini aku sdh di bangku 23d. Berita dari Ibr, hari ini DitProvPen ketemuan utk koordinasi di Millenium.

 

Nyaris setengah penerbangan aku terkantuk2. Tidak  enaknya pakai Garuda untuk penerbangan pendek adalah terpaksa bangun untuk menerima kotak snack dan tawaran minum. Memang, bisa saja aku tersin tidur, tapi suara penumpang sebelah saat ditawari minum atau menerima snack, cukup membuatku terbangun. Kadang, kalau tidak tidur, saat di pesawat spt sekarang aku gunakan untuk  melamun. Ya, karena lebih sering aku terbang sendiri.

'

Seingatku, selain dg Ido dan Mamanya, aku hanya 4 kali terbang bersebelahan dg teman yang kukenal, yaitu penerbangan CKG-PNK, GTO-CGK, CKG-Pap-CKG, dan Pap-CKG. Selebihnya, sendirian.

 

(Still no response, so I send another message, telling that I already have arrive at J. Well I guess, she wouldn't response too..)

 

Posted via email from catatan's posterous