Monday, March 29, 2004

Kamis yang lalu, setelah memberikan ujian kompetensi susulan untuk peserta kuliah Komputer, aku sempat terkejut, dan heran. Salah satu di antara peserta datang menemui sambil berusaha menyerahkan amplop putih sambil ngomong: "Ini untuk transport Bapak". Heran, darimana mereka punya ide untuk nyangoni dosen? Untuk apa? Apa ini termasuk 'uang suap' atau kasihan sama dosen yang dikiranya kurang uang dan mau menerima pemberian seperti itu. Tentu saja aku menolak.
Melihat caranya, sempat terpikir oleh aku, pasti ini bukan pertama kalinya dilakukan. Masalahnya, adakah dosen yang mau menerima pemberian seperti itu?

Bukan munafik, aku juga perlu uang. tapi yang seperti barusan itu rasanya masih belum bisa ketelen. Soalnya, dibalik pemberian seperti itu pasti mereka berharap 'tidak dipersulit' kelulusannya. Dan itu berarti amplop putih tadi adalah 'harga' kelulusannya.

Yang lebih mengherankan, yang berusaha memberi itu adalah yang sehari-harinya juga dosen di sebuah PT swasta di Semarang juga. Pertanyaannya: apakah ia juga diperlakukan sama oleh mahasiswanya? Apakah dia mau menerima pemberian seperti itu? KKN-kah namanya.

Tidak usah berfilosofi, yang pasti hati nurani bisa 'melihat' ketulusan pemberian seperti itu dan kewajaran untuk menolaknya.

Kejadian dengan nuansa sama tetapi sedikit berbeda pernah juga aku alami setahun yang lalu. Pelakunya pejabat pemerintahan (orang kedua di salah satu Kabupaten di dekat Kota Semarang) yang tiba-tiba saja mengirimkan sekeranjang buah-buahan ke rumah melalui 'sopir' atau 'ajudannya'. Kebetulan aku tidak dirumah, dan melalui telepon istri minta pendapat, diterima atau tidak pemberian itu. Aku jawab terima saja, tetapi, jangan dibuka dulu.

Ketika sampai di rumah, baru aku tahu bahwa di antara buah-buah itu terselip surat dengan kop dinas jabatannya, dan berisi permintaan surat tanda kelulusan kuliah yang aku ampu. Kuliah yang aku ampu bukanlah kuliah penting, hanya kuliah 0 SKS tetapi menjadi prasyarat penulisan proposal dan kelulusan. Tentu saja aku menolak, dan balas memberi pengumuman bahwa ybs bagaimanapun juga harus mengikuti uji kompetensi. Ketika bertemu ybs aku jelaskan bahwa mestinya dia tidak perlu mengirim sesuatu untuk ujian seperti ini. Orangnya telah cukup berumur sehingga aku tidak sampai hati untuk 'menegur' ketidaksopanannya dengan mengirimkan sopir dan memberi aku memo berkop jabatan. Aku toh bukan bawahannya. meski demikian, aku toh meluluskannya juga karena melihat kesungguhannya berusaha mengerjakan soal yang aku berikan.
Bagaimanapun, perilaku itu masih lebih baik daripada kelakuan seorang pejabat level Universitas di tempat aku sendiri. Beliau menempuh S2 dan seharusnya juga ikut mata kuliah yang aku ampu. Sampai suatu saat menjelang ujian tiba-tiba kawan dekatnya yang juga dosen senior di jurusanku menelpon dan menanyakan kesediaanku menerima kedatangan beliau (sang pejabat itu) sambil jelas mengatakan bahwa itu berkaitan dengan surat kelulusan ujian komputer yang bahkan kuliahnya pun tidak pernah beliau ikuti. Dengan sangat hati-hati aku memberitahu dosen senior di jurusanku itu, bagaimanapun juga beliau (temannya itu) harus mengikuti uji kompetensi.
Tidak ada kabar beritanya lagi setelah itu, hanya yang aku tahu kemudian tiba-tiba saja namanya tercantum dalam daftar peserta ujian tesis. Ketika direktur aku beritahu bahwa ybs belum ikut ujian komputer, direktur berpesan supaya aku diam saja dan selanjutnya akan diselesaikan sendiri.
Masalahnya memang selesai dengan sunyi sepi, dan beliau melenggang tanpa harus memenuhi syarat yang SKnya ditulis sendiri oleh direktur itu.

Ternyata, buku yang sedang aku buka memang masih jauh dari selesai. Banyak 'pengetahuan' baru yang membuat aku terkejut-kejut. Maka, yakinkah pembaca (jikalau kebetulan membaca tulisan ini) kalau KKN, katabelece, suap, dan segala macemnya bisa hilang di Indonesia ini. Saya bekerja di lembaga pendidikan tempat calon tenaga kependidikan dididik dan dilatih. yang bersemi adalah bibit-bibit semacam itu. Tidak bolehkah kita pesimis dengan keadaan kita di masa depan. Bila ada tanggapan, email saya di hariwibawanto@yahoo.com

Tuesday, March 23, 2004

Jam 12.00 sesi workshop perancangan bahan presentasi dengan PPT untuk dosen bahasa Inggris berakhir.
Tidak ada lagi yang harus dilakukan, jadi aku browsing ke situs-situs multimedia untuk bahan ngajar mhs S2 TP.
Pak Sopyan barusan bilang, jam Pengembangan MM yang aku ampu dengan Prof. Binadja mau dipake pak Siskandar. Jadi jamku mundur menjadi jam 17.00 dan seterusnya. Nggak tahu, pak Binadja mau atau tidak.
Bukuku yang dipinjam pak Sopyan katanya sudah ada di mejanya, bisa aku ambil.
Hari ini, jam 08.00 - 12.00 aku membantu teman-teman dosen Inggris belajar PowerPoint. Sekali-kali ninggalin kuliahnya pak Anto.
Jam 09.00 baru pada datang. Jadi dimulailah pada jam itu. Sampai jam 10.30 ada 8 dari 15 orang yang direncanakan ikut. Maklum, dosen banyak kesibukan.

Baru aku dengar hari ini, LCD proyektornya Bahasa Inggris hilang dicolong maling. Juga komputer punya Bahasa Jepang.
Untuk aku sudah tidak lagi KorLab Multimedia. Jadi tidak perlu lagi mikirin kehilangan barang-barang itu.
Sampai saat ini, kalau aku ingat-ingat lagi cara Jurusan mengambil keputusan membuat 'ruang dosen' (sebenarnya lebih mirip bazar atau pasar terbuka), aku masih nggak habis pikir. Apa sih maunya? Konyol kalau dibilang 'lebih memudahkan monitoring dosen'. Fuck you !
Artinya, dosen mau diawasi seperti mandor mengawasi kuli bangunan?
Padahal dana yang pasti lebih dari 25-jutaan itu akan lebih berguna untuk, misalnya membelikan lemari baku agar bisa digunakan dosen menyimpan buku-buku teks. Ruang-ruang kecil yang menampung 3-4 dosen dalam lingkup ilmu yang sama akan lebih baik, dalam arti bisa menyemaikan dialog yang lebih intelek dan berbobot daripada bazzar yang pasti hanya bisa dipakai ngerumpi.
Tapi apa boleh buat, otak para 'mandor' itu memang seperti aspal -- hitam dan beku -- jadi tak bisa diajak dialog. Kualitas, man, kualitas.