Monday, May 12, 2008

UPG 9 – 11 Mei 2008


Aku ketik ini di ruang tunggu Bandara Juanda (di depan kios buku Periplus, di pilar yang ada stop kontaknya), 11 Mei 2008, dari tulisan tangan yang kubuat di Bandara Hasanuddin Makassar.

Date of event: 9 Mei 2008

(Meet new friends: Pak Muslimin, Pak Sawal (udin?))

Ini kedua kalinya aku ke UPG. Acara visitasi ini sempat mundur dari rencana semula tanggal 5 – 7 Mei 2008. Berangkat dari Semarang tanggal 9 Mei, setelah pesen tiket ke Widy Laena. Berangkat dipilihkan rute SRG – CKG – UPG dengan SJ setelah mempertimbangkan plafon yang diberikan oleh Ditnaga. Take-off sesua jadwal, 06.15 WIB dari Bandara A. Yani, transit di CKG 07.00 – 10.55. SJ mendarat nyaris tepat waktu di Bandara Hasanuddin UPG. Aku jadi orang pertama yang muncul di pintu kedatangan. Langsung mata tertuju ke orang yang berbaju PSH-Pemda warna kehijauan yang sedang memencet tombol-tombol ponsel. Selagi di pesawat tadi ada SMS dari UNM-Mslm bahwa ybs menunggu sudah ada di Bandara. Langsung aku yakin, itulah orangnya. Dan benar, memang dia. Berempat, dengan Innova plat merah, aku – UNM Mslm, UNM Sawal, driver – menuju kota Makassar. Dalam perjalanan, informasi bahwa banyak pejabat nanti tidak bisa menemui karena harus mengantar Dirnaga ke Pare-pare, diulang kembali. No problema, gak masalah sama sekali. Yang penting ada orang untuk di-kulonuwun-i. Di perjalanan diberitahu juga bahwa hotel sudah di-book, Clarion Hotel di Pettarrani. Hotel yang sama yang setahun lalu digunakan untuk menginap instruktur dan peserta pelatihan ICT Dikti.

Sebelum sampai hotel, kami mampir di rumah makan. Bangunannya sama sekali tidak mewah, malah nyaris kumuh seperti warung-warung kecil di Jawa, tapi spanduk di depan pintunya yang bergambar Kapolda (Hariyanto?) mempromosikan warung ini tampaknya ini resto terkenal. Artis juga banyak ke sini, kata salah satu teman UNM. Nama restonya aku lupa, yang jelas kami makan sup kepala ikan (yang telah dimutilasi habis, jadi nggak jelas lagi bentuk kepalanya) dan ikan goreng lengkap dengan sambal mangga muda (yang tidak berasa pedas sama sekali). Kata mereka, di sini mangga nggak kenal musim, jadi tidak perlu khawatir nggak bisa bikin sambal (ini respon ketika aku tanya: kalau nggak musim mangga, buah apa yang disambal?). Bagaimanapun, makan mengudap di resto itu jauh lebih enak daripada mbayangin makan di hotel, kelas Clarion sekalipun. Sayang nama restonya aku lupa, yang jelas di jalan Pettaranni.

Rasa masakannya memang yummy juga. Sambal mangga (golek?) hanya berasa asam saja (entah asamnya mangga, entah memang dikasih cuka) sungguh kurang pas dengan sup dan goreng ikannya. Tapi, okelah. Gratis pula :).

Tiba di hotel, check-in dapat kamar #931. Seperti banyak hotel baru di kelasnya, Clarion pakai kunci kamar bentuk kartu magnetik (yang nantinya bikin masalah). Janjian akan dijemput untuk makan malam oleh UNM-Swl, setelah sebelumnya UNM-Mslm menyatakan nggak bisa menemani karena harus mengantar Dirnaga ke Pare-pare.


Jam 19.00 lewat dijemput untuk makan malam. Tujuan: pantai Losari. Masuk rumah makan yang rame banget (restoran Lae?. Menu: ikan bakar, udang bakar, kangkung tumis, sayur asam. Ikannya gede, seperti ikan-ikan yang dijual di Makassar pada umumnya. Di Semarang, ikan seperti ini harganya dihitung kiloan. Di sini dihitung ekoran (satu ekor entah berapa, pastinya lebih murah dari Semarang).

Yummy juga, tapi lagi-lagi sambalnya (mangga muda, tetep!) sama sekali tidak pedas, sedikit pula. Rasanya satu ekor ikan (dan beberapa ekor udang) sudah penuh berdesakan di lambung, jadi nggak mungkin diisi lagi.

Back to hotel and get sleep. Janjian disemput esok hari jam 07.00.


Date of event: 10 Mei 2008

(Meet new friends: Rohana, Mappasaro, Dewi, Nurhaidah)

Dijemput jam 07.30, langsung ke Dekanat. Ditemui PD3 (Mpsr) berbasa-basi sebentar lalu menuju ruang pertemuan di lantai 1. Urusan lancar, selesai jam 11.00. Swl langsung mengantar ke Unmuh Makassar (baru belakangan tahu bahwa singkatan resminya adalah Unismuh, bukan ‘Unmuh Makassar’ seperti yang selalu disebut oleh ‘orang Jakarta’)


(Meet new friends: Sulfasyah, Dr. Sukri (Dean), Dr. Bahrun (VD1))

Di Unismuh ketemu ditemui oleh contact person, bu SFS, PD1 dan D. Setelah mengenalkan diri dan berbasa-basi sebentar, langsung disuguh makan siang. Menu andalan Makassar keluar lagi: ikan bakar utuh – besar, ikan goreng utuh juga, tumis kangkung, dan sambal yang juga sama sekali tidak pedas. Eh, ada otak-otak juga! (tapi yang ini otak-otak versi tengiri/entah, bukan otak-otak bandeng yang ‘very rare’ itu). Snacknya: biji nangka (bukan yang asli, tetapi dibuat dari tepung dan telur dibentuk secara nggak mirip dengan biji nangka, lebih berbentuk raindrops raksasa), ‘pepes’ getuk pisang basah (entah apa namanya, tetapi mengingatkan aku pada kolak roti berlumur santan yang dikukus berbungkus daun pisang), dan yang tidak asing: pastel basah.

Wawancara dan diskusi dengan 13-an mahasiswa, 4 dosen, termasuk SFS dan PD3.

Jam 15.30 acara selesai, dihantar UNM Swl ke hotel dan janji dijemput makan malam.

Jam 18.30 dijemput di lobby, menyelesaikan urusan penggantian tiket, dan meluncur makan malam di resto Sederhana.

11 Mei 2008

Here I am. In front of gate 6 Hasanuddin Airport, ready to go back to SRG via SUB. Back to routines. Yesterday VR4 ask me (via SMS) to coordinate team for TVS Labschool in presenting proposal draft before discussing it with Dinas Provinsi and Dinas Kota. I tell him to shedule the task in Tue or Wed (13 or 14 May) because in Thu until Sun I have to go to Jakarta for PJJ meeting. (Latest info from Syahid: meeting was delayed untuil 16-17 May).

Bogor, 29 April 2008 (Hotel Pangrango 1)

Sampai jam 23.00 meeting belum juga berakhir. Teman-teman tim ngeledek aku yang sudah harus cabut dari hotel jam 04.00 mengejar pesawat jam 08.00. Sampai jam 24 lebih pertemuan baru berakhir dengan menyepakati agenda baru: separo tim pergi visitasi ke beberapa tempat yang telah ditentukan, separo lainnya menyiapkan pelatihan calon reviewer yang rencananya akan diselengggarakan di Jakarta 7 – 9 April 2008 (tempatnya belum jelas). Visitasi dilakukan ke : Makassar (UNM dan Unmuh, aku sendiri), Malang (UM dan UMM, RDR), Palembang (Unsri, AS), Bandung (UPI, SKM), NTT (Undana, ED). Masing-masing tim terdiri atas PJJ-ers ditambah pendamping dari Ditnaga. Jadilah kerja maraton. Visitasi mulai tanggal 5 April, bisa sampai tanggal 6 atau 7, dan tanggal 7 – 9 bergabung lagi di Jakarta untuk membuat laporan visitasi dan melakukan pelatihan reviewer baru.

Ruang tunggu B6, Bandara Sukarno – Hatta Jakarta

Bus Damri Bogor – Jakarta yang berangkat 04.00 masuk bandara jam 05.15. Jadi, aku yang harus terbang ke Semarang jam 08.00 sudah berada di ruang check-in jam 05.30. Loket (tepatnya meja) check-in untuk penerbangan ke Semarang belum dibuka. Loket baru buka setelah kira-kira 30 menit menunggu.

SMS VR4 menyebutkan pertemuan dengan Dir SMK jadi dilaksanakan di ruang 405 Gedung H. Konfirmasi dengan Lina juga sudah aku lakukan. Kepada keduanya aku sudah bilang bahwa baru pukul 08.00 pesawatku take-off. Jadi aku bergabung pada pukul 09.30, kira-kira. Acara Dir SMK pagi itu adalah memberikan kuliah umum dan menandatangani MOU (entah tentang apa aku tak tahu). Yang jelas, kalau benar terjadwal, diskusi dengan Dir SMK dan Ka Dinas (Prov dan Kota) baru akan dilangsungkan setelah makan siang.

What a hectic day!

“Mengapa yang tadi dipanggil Teteh?”

RDR, koordinator PJJ-ers BERMUTU sekaligus pengocol di antara kami, menceritakan kekonyolan yang dilakukannya. Konon, pada suatu pagi di Bandung – lagi BT-Btnya – ia pergi ke tukang fotokopi. Untuk mem-fotokopi tentunya. Rupanya RDR ini termasuk mahasiswa yang cukup rajin, rajin fotokopi maksudnya. Si tkang fotokopi baru saja melayani mahasiswi muda dan kinclong, yang dipanggilnya ‘Teteh” (“Mbak” Jw.) Tibalah giliran RDR, yang juga mahasiswa, meskipun yang ini mahasiswa S3.
“Dikopi berapa kali, Bu?” tanya si tukang fotokopi dengan amat sopan. RDR, yang lagi BT, pasang muka kenceng dan serius, siap ngerjain si tukang.
“Mengapa cewek tadi dipanggil Teteh. Kok gue dipanggil Ibu? Lu kira gue udah tua banget?”
Muka kenceng si teteh, eh Bu RDR, masih terpasang, dan benar-benar bikin tukang fotokopi salah tingkah. “Eh .. Ehm, .. bukan begitu Teh “. Si tukang bingung, nggak tahu harus ngomong apa. Si “Teteh” eh “Ibu RDR” tetap pasang muka serius (meski dalam hati ngakak berat).


Mouse – Tetikus – Cecurut

Ini kisah JI, orang yang menurut simolek-ers (gang Pondok Cabe Pojok), paling rewel soal bahasa. Baru-baru ini di kantor simolek-ers terjadi pergantian Direktur. Direktur baru membawa gerbong yang, antara lain, jagoan gaek yang sama ribetnya soal bahasa. Cerita pertama tentang “meng-organize”. Kata gado-gado semacam itu sering berhamburan di antara simolek-ers yang memang sehari-harinya lingkup kerjanya yang Asean memungkinkan kata-kata campur-aduk itu berhamburan setiap hari. Sang jagoan gaek pun berkomentar mengenai “meng-organize” itu. “Pakai istilah mengorganisasikan. Kalau bukan kita, siapa lagi yang memelihara bahasa kita?”
Simolek-ers pun patuh, dan dalam hati membenarkan petuah sang kakek. Sampai suatu saat sang kakek memaksakan idenya untuk menggunakan istilah ‘tetikus’ menggantikan ‘mouse’, peranti paling penting untuk mengendalikan komputer. Jengkel dengan pemaksaan itu, JI pun menggunakan istilah “cecurut” sebagai ganti “mouse”. Konyolnya, istilah itu dipakainya ketika sedang kumpul-kumpul dengan PJJ-ers, yang merupakan komunitas berbeda dengan komunitas simolek-ers. (Yang belum tahu bedanya simole-ers dan PJJ-ers, nanti akan dijelaskan).
Jadi, JI akan berteriak “Mana nih cecurutku?” kalau mouse-nya nyelip entah di mana.