Sunday, March 23, 2008

Berdasarkan harga yang tercantum di http://goldprice.org/gold-price-history.html dapat dilacak harga emas murni pada bulan mei 2006 adalah : US$ 725 per ounce (31,10 gram) atau sekitar Rp. 224.000 per gram.

1 gram = 0.0321507466 troy ounces
1 troy ounces = 31.103476769649884273605017931372 gram

Maka TM yang Rp. 24.000.000 setara dengan 107 gram emas dan GA yang Rp. 90.000.000 setara dengan 402 gram emas.

Harga Maret 2008 adalah US$ 1000 per 31,10 gram atau sekitar Rp. 309.000

Maka nilai TM adalah 107 x Rp. 309.000 = Rp. 33.063.000
dan nilai GA adalah 402 x Rp. 309 = Rp. 124.218.000

Investasi emas? Pertimbangkan catatan nofie.
Harga emas hari ini dari situs http://www.logammulia.com punya Aneka Tambang.
Tentang Leo Kristi

Berikut ini tulisan tentang Leo Kristi yang pernah diterbitkan Majalah Jakarta Jakarta. Aku ambil ini dari file-nya newsgroup LK-ers

Majalah Jakarta-Jakarta nomer 338 (19 – 25 Desember 1992)

Sebagian Kehidupan Leo Kristi
Nyanyian Sunyi Trubador Tua

Ada mitos di sekitar Leo Kristi, 43. Penyanyi Surabaya bernama asli Leo Imam Soekarno ini dianggap mengambil jalan yang berbeda dengan kebanyakan penyanyi lain. Ia sangat mengutamakan proses kreatif dan menempatkan imbalan uang sebagai prioritas kesekian dalam perjalanan karirnya. Bisa jadi anggapan itu muncul dari keseluruhan sosok Leo,pikiran, gaya hidup, dan hasil karyanya. Selama 20 tahun kariermusiknya, Leo hanya merekam 9 album. Itu pun 1 album tidak diedarkan.Lirik lagu-lagunya lebih sebagai musikalisasi puisi dengan maknanyayang kadang kala hanya bisa dimengerti oleh Leo. Mengaku banyakmencipta lagu dari realita yang dilihatnya, Leo terkesan justrumerelatifkan semua realita itu. Lagu Sepatu Larsa misalnya. Ia takmembenarkan bahwa itu merupakan simbol dari militer. “Bisa saja. Tapi itu untuk menunjukan pada sesuatu yang berat dan digunakan padagenting”, elaknya.Di atas semua itu, gaya hidup Leo-lah yang memperkuat mitos itu. Iatetap membujang hingga kini. Ia senang dengan anak kecil. Ia jugaterbiasa hidup nomaden.Leo pernah tinggal 2 tahun di Jakarta, meski kemudian kembali keSurabaya karena kesulitan tawaran pementasan. Di Surabaya, Leomerangkai kembali harapannya soal konsep musik, generasi penerusmaupun pasangan hidup. “Kalau ketemu teman wanita, aku kadang raguapa benar ini pasangan hidupku. Mauku kalau ketemu 5 orang, ya lima-limanya itu teman hidup,” katanya.Minggu lalu Leo mentas di Gedung Kesenian Jakarta. Malam-malam sebelumnya ia bicara panjang lebar dengan JJ.

Leo kelahiran Surabaya, 8 Agustus 1949. Anak ke-2 dari 4 bersaudara,pasangan R Ng Bono Imam Soebiantoro, pegawai Inspeksi KeuanganSurabaya, dengan RA Roekmi Idayati. Menginjak bangku SMA, 1967, iaikut band.Penampilannya di pentas tak kalah dibanding rockers top kalah ituseperti Gito Rollies atau Ucok Harahap. Pada tahun 1971, karenamenyibuki dunia musik, ia meninggalkan kuliahnya di jurusan arsitektur Institute Teknologi (ITS). Kelompok musik yang dibentuknya, antara lain Bhatara Band bersama Harry Dharsono danKarim, Lemmon Tress, 1973, bersama almarhum Gombloh dan Naniel. Akhirnya ia membentuk Konser Rakyat Leo Kristi pada tahun 1976.

Apa sebenarnya konsep konser rakyat ?

Pementasan yang bersahaja dengan pemakaian peralatan yang sederhana, apa adanya. Tapi bisa menampilkan keseharian beserta gagasan-gagasan yang kita inginkan. Untuk menopang keteguhan yang mengandung budi pekerti, hingga generasi berikutnya, secara estafet lebih bisa merasakan sentuhan suka-duka, lebih peka pada lingkungan. Hal-hal yang akan menumbuhkan sosok-sosok manusia yang tidak sekedar pintar atau cerdas saja. Tapi lebih dari suatu pribadi dengan budi pekerti bangsa.

Akan terus konsisten dengan konsep demikian ?

Bukanya harus konsisten dengan satu konsep tertentu, tapi konser rakyat itu dalam pengertian keseharian kita. Yang utama dari keseharian kita adalah gairahnya. Baik pada saat aku manggung, ketika turun dari panggung, jalan ke sana ke mari, urusan dengan cewek, urusan dengan Pak Amang Rahman atau Affandi untuk melukis, dan macam-macam lainnya, ini yang aku maksudkan dengan konser rakyat. Dengan keadaan dan apa yang kita miliki secara apa adanya, mampu dengan optimis menyongsong hari-hari, bercumbu dengan rasa dan seni. Inilah kegairahan hidup yang harus dinikmati. Hingga pada akhirnya, ketika jam-jam menjelang tidur dan hari-hari teduhnya, kita akan bersyukur pada kebesaran Sang Pencipta. Apa yang Anda dapat dari perjalanan keliling Madura dengan pelukis Amang Rahman dan Affandi tahun 1982. Aku menelusuri lukisan-lukisan kaca. Melihat lukisan-lukisan perjalanan dan upacara-upacara. Dari situ aku menangkap warna-warna, ritme, coretan-coretan tebal-tipisnya garis, untuk kemudian dituangkan dalam proses penciptaan lagu.

Bicara soal kreativitas seni, apa tolak ukurnya bagi Anda?

Tidak ada ukuran. Bagiku kreativitas adalah keluyuran dan perjalanan dalam berkesenian. Karena keseharianku rasanya tidak pernah lepas dari suasana kreativitas seni. Aku kira persoalan pokoknya, dalam suasana apa pun dan tempat yang bagaimanapun tetap dalam rangka berkesenian.

Tempat-tempat macam apa yang bisa Anda kunjungi, dalam rangka perjalanan kreativitas ?

Aku jalan ke Bone di Sulawesi Selatan. Atau sungai Kapuas di Kalimantan. Ketemu anak-anak muda. Anak-anak sekolah yang nakal-nakal tapi tahu musikku. Kadang aku merasa heran dari mana mereka kenal musikku. Tapi, umumnya mereka salah memainkan atau pemahamannya masih kurang. Seringkali mereka ragu-ragu apa makna syairnya. Nah, mereka-mereka inilah yang harus aku temani. Biasanya aku lantas tinggal di tempat tersebut agak lama, agar mereka bisa lebih memahami perubahan dan perkembangan lagu-lagu rakyat atau lagu-lagu bersifat kedaerahan.

Anda pernah menggunakan lesung dalam pertunjukan musik, itu juga hasil keluyuran ?

Ya, semua olahan musikku hasil dari keluyuran dan perjalanan

Bagaimana konsep musik Anda berkembang ?
Ya berkembang sendiri.

Mengapa harus dipelajari?

Aku merasa amat beruntung tinggal di Indonesia. Di jalan rumahku di Surabaya yang panjangnya hanya 500 meter, begitu keluar dari rumah langsungmenemukan suasana beragam. Sebelah kiri rumah orang Katolik, sebelahkanan Protestan, di depan Kong Hu Cu, di sebelahnya lagi ada Budha.Hindu Bali juga ada, yang Islam tentunya lebih banyak. Itu semua adadi satu jalan. Tapi di lingkungannya Bob Dylan mungkin semuanya beragama Kristen. Jadi lain. Situasinya berbeda. Di sini aku lebih beruntung, lebih beragam lagi. Ketemu ini, ketemu itu. Saya ke Bali ketemu orang Australia yang pintar mainkan perkusi aborigin. Begitu kaya.

Itu jelas memperkaya warna musik Anda ?

Ya. Itu memang lebih patriotis. Tapi aku melakukannya melebihi Bob Dylan. Jadi ketika aku memainkan musik itu, orang di sini malah tidak cocok. Orang sini lebih cocok pada yang sederhana, cengeng-cengeng saja dari Amerika. Yang sudah dibuang di sana, diambil di sini.Padahal orang Barat berburu ke Timur lebih gila. Di abad-abad datang, Timur ini akan jadi rambahan segala macam.

Munculnya Iwan Fals, Sawung Jabo, dan Ebiet G Ade, apakah merupakan ancaman buat Konser Rakyat ?

Ancaman? Apa yang harus mengancam? Dari dulu kita selalu mengikuti anak-anak ini. Ebiet, Franky Sahilatua, Gombloh, sekarang Iwan Fals.Polanya kan pola dari aku semua. Seperti Ully Singar dan yang lain-lain. Mereka tulis-tulis surat atau mengajak bikin pementasan. Mereka biarlah tampil dulu, ini lebih bagus.

Mereka-mereka ini justru lebih dikenal ketimbang Konser Rakyat sendiri ?

Memang begitu. Yang namanya Bob Dylan lebih dikenal daripada Woody Guthrie. Bahkan, anaknya Arlo Guthrie tidak begitu dikenal. Yang terkenal Bob Dylan. Padahal, penyanyi dan penyair jalanan itu sendiri si Woody Guthrie, yang dikagumi Bob Dylan. Dia kan gurunya Bob Dylan.Bob Dylan kan orang tahunya dia ngetop. Kita kan nggak tahu bagaimana proses ngetopnya. Mungkin saja dibantu orang studi. Atau lainnya.

Anda merasa keberatan sebagai Woody Guthie?

Ndak. Woody itu kan banyak ditiru penyanyi-penyanyi folk berikutnya,macam Dylan. Tapi dia populer. Bahwa dia tidak populer, itu kan persoalan lain.

Karena yang lain menempatkan musik sebagai bagian industri ?

Ini kan penjelasan mengapa yang satu populer dan yang lain tidak?Pada pemusik-pemusik folk yang mengandalkan gitar string, rata-ratamengaku terpengaruh atau paling tidak, pernah mendengar musikku.Jadi Anda merasa sebagai pionir ?Lho, para pemusik itu kan mencapai ketenaran mereka dengan kerjakeras juga. Dengan darah, keringat dan air mata mereka. Dari UllySigar kita bisa melihat semangat cinta Tanah Airnya. Dari Iwan Fals,musiknya bertuturnya. Itu semua kan ada di aku.

Anda merasa rugi tidak mendapat uang banyak seperti mereka?

Ingin sih. Tapi ya harus bagaimana?

Lagu-lagu Konser Rakyat, menurut Leo malah banyak ditemukan di kota-kota kecil, seperti di desa Soppeng, Sulawesi Selatan. "Bukan barang bajakan, asli produksi Irama Tara. Malah cover kasetnya sering berganti-ganti, padahal lagu-lagunya sama," ujarnya terbahak. Belakangan ia menyesal tidak menggunakan sistem royalti, "Aku rugi terus," sesalnya. Ia mengaku belum menemukan produser yang berani promosi secara besar-besaran. "Tanpa promosi yang bagus, kayaknya kasetku kurang berhasil. Belum lagi sudah dicegati kurcaci-kurcaci, tambah susah," katanya dengan wajah muram.

Sejauh yang Anda amati, siapa sih penikmat musik Anda ?

Di satu tempat anak muda, di lain tempat anak-anak atau bahkan orangtua. Jadi, nggak jelas. Tergantung kegairahan mereka untuk merasakanhari-harinya yang mungkin sederhana sekali. Tapi, bisa menikmatinya.Kalau untuk orang-orang yang tidak punya waktu dan sibuk terus,mungkin tidak bisa menikmati musikku.

Penggemar musik Anda, rata-rata bisa menangkap makna dalam setiap lagu yang Anda sampaikan ?

Sebagian kecil. Misalnya, dalam 1 lagu, satu makna bisa mereka tangkap. Padahal dalam 1 lagu itu ada banyak hal, seperti: masalah-masalah sosial, teknik gitar dan penemuan-penemuan jurus-jurus baru,juga syair-syair dan pemakaian kata-kata baru, seperti lenggang-lenggung, gulagalugu. Dalam pengertianku, di zaman seperti ini, untukmenahan gelombang, kita harus memakai kata yang tidak luarnya saja.Pengertiannya harus selaras dengan isi batin kita.

Misalnya ?

Lenggang-lenggung Badai Lautku. Lenggang-lenggung sendiri di luarnya adalah suasana ombak yang menghantam dan mengombang-ambingkan perahunelayan. Sedangkan di dalam hati si nelayan, selalu ada doa dan harapan agar bisa sampai ke darat dan bertemu anak istri.
Gulagalugu Suara Nelayan itu mencerminkan suasana nelayan yangbersemangat dan riang dalam menarik jala. "Hahuheee..Hahuheee."sedangkan di dalam hati mereka ada doa dan harapan agar rezeki hari ini bagus.

Semacam ada spirit dalam kata?

Ya, tapi lebih pada sesuatu yang bisa melihat keseimbangan. Antara alam di luar dan alam di dalam.

Lantas bagaimana proses kreatif Anda dalam mencipta lagu ?

Tidak pernah aku pikirkan. Dari sehari-hari aku jalan, bisa menyerap banyak hal. Kemudian di rumah dan di studio rekaman dan dipentaskanternyata setelah pentas, muncul improvisasi-improvisasi yang tadinya tidak terpikirkan, ya aku ubah lagi. Mungkin juga suatu lagu sudahjadi, lantas ada anak kecil menyanyikan lagu itu, karena tidak bisamenangkap syairnya, dia pakai kata-kata lain. Tadi, lho ? tenyata kata-kata anak tadi lebih tepat. Oke, akhirnya aku ubah pakai kata-kata anak-anak tadi.Langsung ditulis notasinya atau direkam terlebih dahulu ?Macam-macam. Paling-paling aku bikin notasi angka, gambar-gambar, dancoretan-coretan. Yang muncul selanjutnya bisa lirik dulu, bisa pulanotasi dulu. Biasanya melalui kontemplasi.

Era gaya Lemon Trees yang pop telah lewat, lantas dengan corak folkyang sekarang bagaimana proses terbentuknya ?

Dari semakin melihat perjalanan dan kenyataan sehari-hari yang erathubungannya dengan warna-warna musik yang ada di Indonesia. Awalnyakan lebih mengacu pada musik Bob Dylan, Joan Baez, warna-warna musik Amerika. Waktu itu kita juga banyak dipengaruhi lagu-lagu rakyatYunani, Cina, Timur Tengah dan Rusia. Padahal kita lebih berpotensimenggali musik-musik daerah Indonesia yang begitu beraneka.

Termasuk pemilihan instrumennya juga ?

Sebenarnya aku tidak mengkhususkan harus dengan instrumen tertentu.Sambil jalan melihat ada orang memainkan instrumen lain yang belum pernah kita pakai – kok enak didengar – ya, kita coba mainkan.

Dalam bermusik sepertinya Anda mengatakan "inilah musik saya" danmengabaikan selera pasar?

Tidak juga. Justru aku mencipta dari keseharian "mereka", orang-orangyang dalam menjalani hari-harinya dengan menikmati hidup. Ini yangkita harapkan untuk masa mendatang dari generasi kita. Padahal, kalaukita lihat, di daerah begitu banyak anak muda yang sangat akrabdengan warna lagu sehari-hari. Bukan perilakunya, tapi aromanya. Ada aroma pesisir, mulai dari Sintren, Cirebon, Tegal dan Banyuwangi.Setelah disampaikan, aroma itu menjadi bagian dari rasa sehari-hariyang seharusnya makin kita pertajam.

Protes penggemar terhadap karya-karya Anda ?

Banyak dan selalu. Umumnya disebabkan perubahan lagu dari album-albumku. Ada yang ngomel-ngomel, marah-marah, senang atau mengeluh.Untuk menjawab protes mereka ini waktunya tidak ada. Disampingbagiku, menulis surat itu bukan suatu yang menyenangkan. Tangan harusmenulis, beli perangko, masih mengirim lagi, buat aku merupakansiksaan, skukur-syukur kalau ada yang mau mengurusi bantu, lebihbaik. Harusnya pakai sekretaris, itu pun kalau ada yang mau kasihgaji, hahaha!

Pada pemunculan awal Anda, sering disebut-sebut sebagai trubador Indonesia ?

Aku malah nggak tahu trubador itu gimana, atau apa. Mungkin yang tepat, aku ini seorang "pejalan". Ketika masih kecil, aku sudahsering jalan. Sekarang, aku merasa perlu tinggal di suatu tempat, kalau melihat begitu banyak anak-anak yang ingin mengerti lebih jauh lagu-lagu kita. Waktu kecil dulu, ketemu satu orang yang suka gitar dan aku suka gitar, langsung tinggal disitu. Ngobrol. Setelah tinggal beberapa lama, jalan lagi.

Sampai kapan ?

Siapa yang tahu sih besok itu apa yang terjadi. Masalahnya hanyabagaimana menciptakan hidup yang bergairah dan hangat. Untuk apahidup enak, tanpa gairah. Aku sering tinggal di suatu tempat untukmemberikan apresiasi – bukan dalam artian seperti orang-orang yangmemberikan seminar – tapi mungkin hanya pada 1 atau 2 orang yangpotensi dan bakatnya bagus sekali. Umumnya anak-anak kecil danremaja. Bukan hanya bakat musik, tapi kesenian dalam artikeseluruhan. Bisa tari atau sekedar ngobrol. Aku membawa ceriteraperkembangan di kota-kota besar dan dari mereka, aku mendapatceritera suasana kesehatan mereka.

Untuk biaya jalan-jalan tadi, duitnya dari mana ?

Nggak tahu, jatuh dari atas atau gimana. Pasti ada saja. Ini yang aku bingung. Tapi hampir nggak punya uang, sering. Hahaha! Inimemang berat. Yang jelas aku tidak pernah mentargetkan pergi kemana, tahu-tahu sudah sampai di Mesir atau Irak dan nanti entah di mana.Mulai kecil aku sudah demikian. SD sudah main musik, bukan gitar tapi ukulele dan bongo. Tiba-tiba, ketika aku sedang di rumah diajak pergi kawan-kawan " Ayo ikut ke Malang!" Ya, aku ikut. Demikian terus sampai mahasiswa. Sekarang, ada saja yang mengajak pergi. Tiba-tiba diajak ke Kalimantan. "Ayo jalan ke Kalimantan bareng Gombloh, di sana sudah ada Tetty Kadi, Elly Kasim." Oke, aku berangkat. Tahu-tahu sudah di sana 2 minggu pulang dapat duit, bisa beli motor atau apa. Selalu begitu terus. Aku tidak punya usaha lain, setidaknya sampai saat ini.

Mungkin, karena masih lajang ?

Ya. Kalau aku sudah berkeluarga mungkin lain lagi. Punya isteri dan mungkin punya lain. Tapi yang jelas hingga kini aku belum ada rencana berkeluarga. Padahal itu kan bagian dari "gairah" juga Jelas! Kehidupkan, semacam itu ada aku lalui. Kalau orang bilang perkawinan itu berupa pernyataan tertulis, bikin mewah dengan biaya sekian milyar, semua itu hanya embel-embel. Tapi apakah mereka benar-benar menikmati hubungan suami dan istri. Yang penting bagi aku adalah kadar hubungan sebagai suami-istri. Tanpa ikatan dan aturan macam-macam kita punya keteguhan. Ini nilai yang bagiku lebih luhur, setidaknya ini pendapatku dalam tahap kehidupanku sekarang ini.

Pandangan Anda terhadap lembaga "keluarga" ?

Bagiku setiap pertemuan itu akhirnya perpisahan juga. Pada tahapan terakhir urusan kita itu benar-benar urusan kita sendiri dengan Sang Maha Pencipta. Hubungan kita dengan istri dan anak-anak, ada waktunya sendiri dan pada tahapan tertentu itu ada akhirnya. Buat aku menemukan pasangan yang benar-benar pas itu sulit. Dunia semakin canggih. Yang kelihatannya pas, sebenarnya malah nggak pas. Yang kelihatannya nggak pas, ya memang nggak pas. Jadi yang benar-benar pas itu jarang sekali.

Lantas apa makna cinta buat Anda ?

Yang aku tahu cinta adalah keseharianku dengan musik. Kalau masalah cinta, aku banyak mencintai kehidupan ini. Kehidupan itu bisa terisi pada diri seorang gadis atau siapapun. Aku juga mencintai orangtua, anak-anak atau bayi. Banyak gadis-gadis di Kalimantan atau Irian yang bagiku sepatutnya dicintai. Di Irian terutama, atau Timor-timur, mereka dalam gambaranku – dari sisi terburukl – sepatutnya dicintai.

Apa hambatan Anda sebagai seniman yang tetap bertahan pada sebuah idealisme ?

Sukarnya orang untuk memahami tentang niat kita dan kesungguhan kita dalam kehidupan ini. Karena pikiran aku sendiri dan anak-anak masih sering kekanak-kanakkan. Dan yang penting aku harus telaten menunggu apresiasi musik rakyat kita. Untuk ini aku memerlukan seluruh hidupku dan ini adalah kewajiban utama yang harus diselesaikan.

Kecuali itu, mungkin kelompok Anda perlu dikelola secara profesional ?

Kelompok Konser Rakyat ini justru tidak pernah dikelola dengan satu manajemen. Kata kelola itu nggak ada. Ini kelemahannya. Syukur kalau ada pihak yang bersedia, aku tampung dengan senang hati. Cuma jangan kaget kalau me-manage orang-orang yang rewel itu aja persoalan kita. Tapi menurut orang-orang yang rewel itu cuma aku, hahaha! Anggota lainnya sudah bener. Kalau aku sendiri yang disuruh mengelola, nggak bisa. Aku mau jalan-jalan dulu.

Lantas apa yang Anda cari dengan bikin konser rakyat ?

Aku nggak cari apa-apa. Tapi kalau keinginanku untuk nampang, itu jelas. Aku paling seneng, hahaha!

Berlatih musik bagi Leo bisa berupa menggambar atau duduk diam-diam di tepi sungai "setelah suasana yang kualami mengendap, baru aku ekspresikan dalam bentuk musik." Ia pun menyimpan semua coretan lukisan anggota kelompoknya, juga rekaman suara mereka sebelum bergabung dengan Leo Kristi. "Sambil coret-coret, aku bisamenerangkan warna, jagu dan ritme. Kadang dengan warna, orang bisa lebih memahami dan membayangkan alam sekitarnya", ungkapnya.

Kebiasan ini diterapkan pada setiap anggota kelompok Leo Kristi ?

Aku juga banyak melakukan di daerah-daerah, di jalan-jalan pada anak-anak kecil dan anak-anak remaja. Ternyata mereka sebenarnya sangat berbakat kalau ditemani dengan "gairah" tadi, aku sendiri juga selalu bikin lukisan, malah sekarang pakai kanvas gede-gede 1,60 x 1,90meter. Ini semua merupakan pondasi rasa bebas dari seorang manusia. Ini perlu sekali.

Ada niat dipamerkan ?

Ah nggak. Yang boom biar saja aku nggak mau ikut-ikut. Sebab melukis bagiku merupakan bagian dari penajaman rasa dan pengolahan karakter. Semua lukisan terdiri atas coretan, warna. Bidang adalah nyanyian.

Lantas kumpulan lukisan anak-anak tadi, disimpan begitu saja ?

Aku simpan saja, sampai-sampai tempatku hanya dipenuhi kertas-kertaslukisan. Bagiku semua lukisan anak-anak itu berharga, bayangkan anak-anak yang tidak bisa menggambar kok bisa bikin coretan dan warna-warna seperti ini (leo menggelar sekitar 30 lukisan hasil karya anak-anak di Kalimantan, Sulawesi, dan tempat-tempat terpencil. Berupa coretan-coretan tidak tentu arah dan berwarna-warni). Ini kan lagu.Kelihatannya memang hanya coret-coret tapi ini sebenarnya lagu.Mereka bisa merekam suasana. Orang kalau suasana hatinya tidak masuk keperasaannya, ndak akan bisa menggambar coretan-coretan seperti ini.Paling-paling gambar gunung, sawah, kemudian ada pohonnya. Sesuatu hal yang sudah umum dan diberitahu gurunya. Tanpa mikir dan perasaan. Ibaratnya orang bikin lagu, masak semua bikin lagu, "mengapa sayang" yang cengeng-cengeng itu, kan ndak enak. Semua ini saya rasa akan baik untuk perjalanan hidup mereka nantinya.

Lukisan-lukisan tersebut sepertinya lebih ke aliran abstrak ?

Inilah kesalahannya orang-orang. Lukisan yang bebas digolongkan abstrak, yang naturalis itu nggak bebas. Bukan itu. Kita di luar masalah-masalah orang-orang lukis. Kita ini bukan orang lukis,mungkin lebih ke arah pendidikan. Mungkin orang-orang psikolog lebih tahu masalah-masalah ini. Pokoknya ini keluyuran tanpa cat dan peralatan lukis. Ambil contoh. Di Kalimantan, di sana tidak ada cat minyak atau yang berwarna-warna. Itulah yang kita pakai buat melukis.Dipetiki semua oleh kita, orang-orang di sana sampai marah-marah.

Kalau lukisan-lukisan tersebut dimanfaatkan untuk pajangan backgroud pagelaran Anda di panggung ?

Oh, ya. Bagus juga ide ini. Tapi mungkin bagi orang-orang kota, ditanggapi, "apa-apaan ini". Namun kalau keadaannya dipinggir sungai Kapuas yang betul-betul minim, nilainya besar sekali bagi anak-anak sana.

Setiap manggung Leo dan kelompoknya selalu memakai kostum hitam hitam. Tidak ada makna khusus baginya. "Apa harus putih, oke aku ganti putih, nggak repot to. Tapi kalau putih cepat kotor, aku harus beli berkali-kali, duitnya harus banyak. Kalau hitam, kotor kan nggak kentara," jelasnya enteng.

Bagaimana lingkungan masa kecil Anda ?

Kebahagiaanku karena lingkungan, keluarga dan aku sendiri. Yang dicukupi oleh keluargaku ala kadarnya saja, tapi semuanya bisa kunikmati. Lingkungan juga tak terlalu menekanku. Yang penting, aku bisa menerima situasi keluarga dan lingkungan dengan baik. Dulu, aku sering main di belakang rumah. Di sana ada gang yang namanya Gang Kebakaran, tempat para gelandangan kumpul. Dipikul kaum gelandangan untuk bikin rumah, ada banyak becak-becak dan ada juga yang punya alat musik.

Nggak pernah clash ?

Setiap lebaran Natal dan Tahun Baru, keluargaku malah dapat kiriman makanan dan minuman dari mereka. Aku juga sering menyaksikan keributan antar mereka. Perkelahian suami-isteri atau pun antar keluarga. Meski begitu persinggungan aku dengan kelompok ini lebih terasa manis.

Apa pengalaman menarik bergaul dengan mereka ?

Kalau mereka mencuri lampu, aku kebagian untuk menarik perhatian. Disana kan ada tempat cangkruk, menjual jangkrik. Kita selalu ngumpul di situ, beli. Di tempat itu oleh tetangga aku digendong dan diangkat-angkat. Begitu orang-orang mulai tertarik dan melihat kita, teman-temanku mulai nyolong lampu. Karena sering dimanfaatkan, lama-lama aku tidak mau muncul lagi.

Anda dulu populer di kelompok Anda ?

Ya. Dari kecil aku sudah populer. Sering dicari-cari, di sekolah aku juga termasuk orang yang selalu dicari-cari. Sejak SD aku sudah mainmusik, pegang ukulele, bongo, dan perkusi. Tapi, masih dalam lingkupyang kecil di Surabaya, seperti main musik dan mengisi acara ditempat orang main golf. Semuanya belajar sendiri. Ayah mendapatkan alat-alatnya dari toko temannya – seorang India.

Waktu pertama musiknya pop ?

Ya nggak juga. Lagu sehari-hari macam tek kotek kotek, anak ayam (Leo mendendangkan lagu tersebut). Lagu ini aku paling senang. Begitu SMP,aku masuk sekolah musik rakyat di Surabaya.Pernah belajar teori gitar ? Ya, macam-macam. Oyik, musik keroncong, dasar-dasar klasik juga. Tapi dulu kan belum disebut musik klasik. Lagu pertama yang aku bikin Serenada Pagi, tahun 1973. Tentang cinta di perjalanan. Saat itu kan zaman keluyuran. Yang aku kenang segi romantisnya saja.

Waktu di Lemon Tress ?

Tidak ada. Lemon Tress yang sebenarnya – 1969-1971 – membawakan lagu-lagu pop. Cuma aku kan menyisipkan lagu-lagu rakyat. Contemporary folk dan Traditional folk. Macam Bob Dylan ataupun Scarborough Fair.

Lantas kenapa Lemon Tress pecah ?

Tidak ada yang pecah. Memang waktunya pisah. Cerita kan selalu begitu. Ada saat ketemu, ada saat berpisah. Suami-isteri pisah, hanya soal waktu saja. Bisa 3 tahun, 5 tahun atau 25 tahun.

Pernah mendapat pendidikan nasionalisme dari ayah ?

Ndak. Bapak paling mengajak aku ke Batu. Jalan-jalan dengan keluarga.

Tapi lagu-lagu Anda banyak menekankan nasionalisme ?

Ah ndak juga. Aku sih biasa-biasa saja.

Ayah Anda kan anggota Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dulunya ?

Nggak jelas. Kayaknya Bapak tidak suka yang begitu. Dia senangnya sendiri. Tidak suka organisasi. Ayah dan mama saja berdua, pacaran terus. Tidak sama perempuan lain. Ketika ditinggal ayah, mama merasa kehilangan. Dari awal mereka berdua saja. Saling mengurusi. Anak-anak, ya, jalan sendiri. Waktu kecil, kita sekeluarga sering pergi bersama-sama. Makin besar, anak-anaknya tidak mau. Aku malah berpikir, "Nah kebetulan papa-mama pergi, aku malah bisa bikin macam-macam."

Bagaimana sikap bapak Anda dulu ?

Biasa. Suasananya yang selalu mempengaruhi aku. Setiap pagi, papa-mama selalu putar piring hitam. Jadi, anak-anak ini selalu dibangunkan oleh musik. Itu kan asyik. Enak. Suaranya lamat-lamat.Kamar aku persis di samping kamar papa-mama. Kadang ada suara tertawa-tawa, yang enak. Adik dan kakak jarang bangun. Mesti aku duluan. Aku bangun, pindah kamar dan masuk di antara mereka berdua. Kebiasaan itu amat membahagiakan dan memberi banyak rasa. Sentuhan rasa.

Dari segi usia, Anda sudah saatnya mempunyai teman hidup. Kapan kira-kira waktunya ?

Tahun 2000-lah. Belum jelas juga. Kadang-kadang aku merasa enak sendiri, kadang kepingin. Nggak jelas. Hari-hari itu telah disita dengan urusan musik, tahu-tahu sudah lewat hari, lewat bulan. Begitu saja terus. Sebenarnya aku memang perlu pendamping. Kalau terus menerus sendiri, ya sumpeg juga.

Barangkali mencari figur mama ?

Ngapaian. Sejak dulu sudah mama. Sekarang harus lain lagi. Aku tidak pernah terpikir idola. Aku suka heran kalau ada orang ngomong. "Aku idolanya ini. Kata idola itu tidak boleh dipakai. Aku mengagumi banyak orang, mengagumi keberhasilannya, juga mengagumi kesalahan-kesalahannya. Tapi aku lebih mengagumi orang yang kutemu di jalan-jalan, dengan keseharian mereka.

Tampaknya Anda menyukai gadis-gadis remaja, seperti halnya remaja Bali yang pernah Anda cintai, tapi dilarang orangtuanya ?

Jelas, karena mereka lebih aku percayai untuk harapanku mewakiligenerasi nanti. Memberi perkembangan dan pimpinan pada kehidupan sehari-hari. Terutama perempuan.

Karena apa?

Dia akan jadi Ibu. Ibu paling dekat dengan anak-anak. Ketika masih dalam perut, jiwa dan perasaannya dekat dengan kedalaman musik dan syair yang bagaimana. Rasa bermusik mulai tumbuh.I tu kan untuk musik.

Untuk `teman hidup" ?

Itu tadi. Untuk teman hidup itu tidak dicari. Dia diberikan begitu saja, kalau pada waktunya.

Sering ketemu ?

Sering. Biar saja jalan dulu. Biar ramai. Biar bingung. Kalau masih bisa mengatasi itu di antara kebingungan, nah seleksi yang bagus.Kalau sewaktu ketemu langsung bilang, "Nah ini jodohku," siapa bilang? Itu kan perasaanmu, ada 5, 6 ada 10. Tuhan tidak memberi 1pilihan. Diberi pilihan yang banyak, biar cocok. Tidak satu, mungkin 5. Kalau kelima-limanya cocok diberi Tuhan, kelimanya kemudian ditanya, mau, mau, mau ? kalau tidak ada yang sakit hati, oke ayo tanda tangan bareng. Itu yang bagus. Aku bisa terima. Tapi ada yang tidak bisa aku terima, kalau melihat laki-laki mempunyai 2 atau 3 isteri. Tapi, diambil satu-satu. Kalau yang satu mulai tua, diambil yang lebih muda. Perempuan ini akan nurut. Karena keadaannya sudah makin tua. Aku nggak senang. Aku tidak berani melakukan itu. Itu tercela. Kalau nggak jadi semua, ya nggak apa-apa.

Berarti Anda suka poligami ?

Lho bukan poligami. Aku tidak mencari. Semua sudah ada begitu saja. Kalau memang sudah ada, aku harus menyelesaikan semuanya yang hadirdengan baik, bagi semua jiwa. Jangan sampai salah satu sakit. Itu sulit.

Barangkali ada salah seorang anggota Konser Rakyat yang sudah hadir di hati Anda ?

Wah, pertanyaan itu perlu disimpan untuk tahun 2000. Menunggu kematangan dulu ?Kematangan usia itu tidak ditentukan oleh usia. Ada perempuan berusia 25 dan 30 tahun, tidak matang-matang. Bahkan ada yang tidak bisa matang-matang. Tapi, ada yang berumur 14 –15 tahun sudah matang. Ya,tentu persiapan mental perlu waktu. Tidak bisa ditentukan usia. Ada yang matang, karena emosional. Nekad.

Tapi, setidaknya Anda toh butuh keturunan ?

Ada sebenarnya. Di usia 30 tahun, aku pernah ada keinginan. Padahal,sekarang sudah lewat. Aku sendiri belum punya keturunan. Sekarang aku berpikir bagaimana ya caranya pada seusiaku ini. Aku harus mundur. Jangan sampai naik usianya. Saya rasa bisa.

Usia Anda kan sudah 43, sekarang ?

Ya, tapi sekarang kan sudah banyak keturunan Konser Rakyat.

Banyak yang mengidolakan Anda, Anda sendiri senang ?

Dijadikan idola? Itu siksaan buat aku. Tapi kalau karyaku diidolakan, diresapi banyak orang, aku suka. Pada saat-saat awal, mungkin suatu kewajaran. Tapi, buat aku itu jangan diangkat-angkat.

Percakapan terpisah dengan : Tjahjo Sasongko, Frans Sartono,Suhartono, Zeverina Retno
Leo Kristi ,,, dan lintasan kenangan

Membicarakan Leo Kristi adalah membicarakan romantisme masa muda. Aku 'kenal' Leo Kristi ketika masih di kelas II STM Pembangunan. Patron yang aku kagumi semangat belajarnya saat itu adalah Subiyakto (entah di mana sekarang, terakhir kudengar ia jadi semacam paranormal). Dia-lah yang mengenalkanku (tanpa ia sadari) pada lagu-lagu Leo Kristi. Beberapa kaset sempat aku beli (sayang, telah hilang ketika rumah di kampung banjir dan aku sedang di Yogya nggak sempat menyelamatkan 'harta-benda'ku itu. Browsing sesiangan ini mengantarkan aku pada komunitas penggemar Leo Kristi (http://ph.groups.yahoo.com/group/LeoKristi/).
Kalau didengar dan diresapi, syairnya sangat romantis dan heroik (dan bisa dua-duanya, kalau kita menganggap cinta pada tanah air adalah hal penting). Pada sisi yang lebih populer, lebih populis, dan lebih seenaknya sendiri, adalah syair dan lagu-lagu Gombloh. Bedanya, lagu Gombloh lebih mudah dinyanyikan sehingga lebih populer, beda dengan lagu-lagunya Leo Kristi.
Beberapa lagu masih lekat dalam benakku meskipun telah dikikis oleh pengalaman-pengalaman keras, rutinitas keilmuan di kampus, dan perjuangan mencari nafkah. Lama aku berjuang mencari CD-CDnya yang tak pernah kudapat. Syair lagu berikut ini aku dapat dari situs newsgroup Leo Kristi tersebut di atas:

Lewat Kiara Condong

Lewat Kiara Condong kereta laju
Panorama di sana memaksaku tersenyum
Bocah-bocah tak berbaju
Berlari-lari sepanjang tepi
Di setiap detak roda yang kelima
Bergerombol bocah-bocah
Bermain gundu, kuda pelepah
Mengejar layang, lambaikan tangan

Ooh, bilakah kereta dan lelah di sana

Lewat Kiara Condong kereta laju
Seorang gadis telanjang dada
Basah rambutnya berkeramas
Sempat kulihat tisik kainnya
Di balik dinding bambu
Reot dan tak beratap

(Ketika lewat Kiara Condong)
(Matahari tidur di balik gunung)
(Ketika lewat Kiara Condong)
(Tuan-tuan tidur di sejuk gunung)

Laut Lepas Kita Pergi

Angin sepoi Angin sepoi
Layar-layar hari dermaga telah tumbuh telah tumbuh
Kutenggak cangkir kopi terakhir senja ini senja ini
Kemarin hanya mimpi ditenung tangan sakti aku tak mengerti
Gelap dunia ini hingga hari yang sepi kuterjaga dari mimpi
Yayayayayayaya
Layar-layar hari dermaga telah tumbuh telah tumbuh
Apalagi kau tangisi, janganlah
Selamat tinggal hari kemarin
Laut lepas kita pergi Yayayayayayaya

Kemarin hanya mimpi ditenung tangan sakti aku tak mengerti
Gelapnya dunia ini hingga hari yang sepi
Kuterjaga
Kemarin hanya mimpi ditenung tangan sakti aku tak mengerti
Gelapnya dunia ini hingga hari yang sepi
Kuterjaga
Kemarin hanya mimpi ditenung tangan sakti aku tak mengerti
Gelapnya dunia ini hingga hari yang sepi
Kuterjaga

NYANYIAN TANAH MERDEKA

Gulagalugu Suara Nelayan

Berayun ayo laju perahu Pak Nelayan
Laju memecah ombak, perahu Pak Nelayan
Buih-buih memercik di kiri-kananB
uih buih memercik di kiri-kanan
Perahu…

Lihat-lihat nelayan rentang jala pukat
Tarik-tariklah tambang, umpan sudah lekat
Ikannya melompat-lompat
Ikannya melompat-lompat
Ia riang…

Jauh di kaki langit
Terbentang layarmu
Kadang naik, kadang turun
Dimainkan oleh ombak
Badai laut biru

Gulagalugu suara nelayan
Berayun ayo laju.
Berayun ayo laju…
Gulagalugu suara nelayan
Berayun ayo laju.
Berayun ayo laju…

Laylaylaylaylaylaylaylaylaylay laylaylay…
Laylaylaylaylaylaylaylaylaylay laylaylay…
Hmmm…

Hitam Putih

Pagi itu di empat lima
Kami semua menyanyikan lagu bebasnya negeri
Pagi itu di kaki lima
kami semua menyanyikan lagu bersatu negeri

Di tanah merdeka ini putih tetap putih
Di tanah merdeka ini hitam tetap hitam
Janganlah kau cemas, mari menyanyi
Mmm ah ooah ooah…Oah ah oah oah ah oah…

Pagi ini di sudut jalanan
Seorang glandangan menyanyikan lagu
Bagimu Negeri…

Thursday, March 20, 2008

Tanggal 18 dan 19 kemarin aku ke Jakarta. Acaranya singkat sebenarnya: penyamaan persepsi untuk calon instruktur terkait program-program PJJ. Berangkat pagi jam 07.40 pakai Mandala (SRG-CKG, 230). Kumpul dengan beberapa teman (beberapa sudah kenal atau sudah pernah ketemu, yang lain baru kali itu ketemu). Point-nya, tahun 2008 ini ada beberapa kegiatan pelatihan untuk men-support program PJJ yang telah berlangsung 2 tahun terakhir. Bagianku dan SH adalah pelatihan bahan ajar web (e-learning). Penyamaan persepsi dilakukan terkait digunakannya LMS yang Moodle-like buatan HBS dan RF (?) dari UI.
Pulang tanggal 19 siang (meski pesawat rencananya take of 18.35, pakai Sriwijaya, CKG-SEG, 618). Bandara ramai sekalai, nyaris seperti stasiun kereta saat menjelang lebaran. Mencoba check-in jam 16.00, loket belum dibuka untuk tujuan SRG jam 18.35. Daripada nggak bisa duduk (tak ada tempat duduk di ruang check-in terminal keberangkatan) aku keluar, sempat baca-baca sambil duduk di bangku meskipun suasana lumayan crowded.
Karena lapar (padahal sudah makan siang), aku sempatkan makan di Singgalang Jaya. Untuk jaga-jaga biar nggak masuk angin.
Kira-kira jam 16.45 aku kembali ke ruang check-in. Loket sudah dibuka, dan aku dapat tempat duduk di nomor 10B. Langsung saja aku naik ke ruang tunggu sambil menyempatkan diri membeli asuransi yang 10-ribuan.
Sialnya, bau beberapa saat duduk di rung tunggu, ada berita pesawat didelay 50 menit, jadi kira-kira baru akan take-off jam 19.25. Wah lama sekali nunggunya.
Beberapa kali petugas terdengar memanggil penumpang yang belum muncul. Tak lama terdengar teriakan petugas: "Semarang ... semarang, siapa penumpang semarang yang mau mengisi 2 kursi kosong". Tanpa pikir panjang aku tunjuk tangan, nyerahin boarding pass dan lari mengikuti petugas ke pesawat. Saat itu baru jam 18.00 lebih sedikit. Bersamaku seorang ibu 50 tahunan juga ikut. Sambil jalan aku mikir: nggak bener ini! Namaku pasti tidak tercantum di manifes pesawat. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan pesawat ini (dalam boarding pass aka seharusnya naik SJ-222, tapi kemudian menggantikan posisi orang yang tidak datang, di flight SJ-220)? Cuek! Aku tetap naik. Sepanjang jalan di lorong pesawat aku mendengar penumpang ngedumel, menganggap akulah biang telatnya SJ-220. Kalau saja mereka tahu .....
Untuk menyiapkan kalau-kalau terjadi hal buruk, sebelum mematikan HP aku kirim SMS ke Mamanya Ido dan pak Sahid kalau aku jadinya menumpang SJ-220, bukan SJ-222 seperti rencana semula. Pramugari memperingatkan agar aku mematikan HP. Okey, pasti aku matikan setelah send SMS ini. Beres!
Pesawat take-off, cuaca buruk. Beberapa kali terguncang cukup keras tanda cuaca buruk. Tidak seperti Mandala waktu berangkat kemarin, Sriwijaya tetap menghidangkan snack. Mandala, alamak, malah nawarin mie instant, pake bayar lagi (Jadi inget kalau naik patas SMG-TGL, di Pekalongan pasti banyak asongan yang nawarin mie macam itu. Pernah pak Haryono beliin aku di bus, yang terpaksa aku ikut makan meskipun sebenarnya kurang berminat.
Aneh juga ya, pramugari Mandala sekarang mau juga disuruh jualan (!) mie instant di atas pesawat. Beberapa orang sempat aku lihat beli itu mie. Wah, aromanya pasti menyebar ke sekitar pembelinya!.
O, ya, waktu berangkat kemarin, di loket check-in secara kebetulan ketemu pak MEW. Katanya baru jam 08 malemnya pulang dari Jerman dan paginya harus ke Jakarta lagi. Surprise! Beliau minta boarding pass ku, dan bayarin airport tax-nya. Sayang aku duduk berjauhan dari beliau jadi nggak sempat ngomong2 (aku di 28F, berdampingan dengan ibu-anak 80 dan 60 tahun yang ke Jakarta berdua saja, sedangkan pak MEW di 2).
That's all. Aku toh akhirnya tiba selamat di rumah, pada jam 19.45. Seharusnya masih di atas Jakarta!! Tapi rasanya aku nggak mau mengulang lagi. Bayangkan kalau ada apa-apa dengan pesawat. Bisa-bisa orang anggap aku hilang misterius.