Tuesday, December 18, 2007

Jakarta, 11 Desember 2007

Kali ini aku ke Jakarta, pakai RI-291 berangkat dengan Mandala jam 7.30 dari Semarang untuk kegiatan penyusunan guideline hibah Bermutu. Binatang apa itu, biar terjawab nanti. Seharusnya aku ikut diundang pada pertemuan pertama dulu, tapi karena bu RDY tahu aku di Medan maka aku tidak diundang. Rencanaku berangkat jam 06.00, tertunda sebentar karena ibu telepon tentang situasi terbaru mengenai ganti rugi tanah di kebun bambu belakang. YSN ngedumel merasa tidak dilibatkan. Aku bilang, biarin. Tidak usah dipikir.
Sialnya, ternyata taksi mogok, demo memprotes rencana masuknya Blue Bird ke Semarang. Jadilah aku, setelah turun dari angkot di dekat ADA, kembali naik angkot lagi turun sambil berfir bagaimana cara sampai ke airport tanpa telat. Akhirnya aku turun di pasar Jatingaleh, nawar ojek ke bandara (tukang ojek hanya minta 20.000, kirain sampai 50.000 seperti ongkos taksi!). Jadilah, di pagi yang ramai, tukang ojek membawaku ngebut melewati Kaliwiru - Sultan Agung - S. Parman – Pamularsih – Bandara. Sampai di counter check – in rupanya aku orang terakhir yang check – in karena setelah itu sounter ditutup. Lalu larilah aku ke counter airport tax, nyempatin beli asuransi biarpun cuma yang 10.000-an (biar kalau ada apa-apa dengan aku, ada tambahan sedikit buat Ido dan Mamanya). In flight, right after me (seat number 27F) is beautiful – chinese girl around 30. Sitting still with her pseudo-blondie hair, almost bloody-red lips and pearl-white skin. Hmm .. good looking!
Jam 08.20 sudah sampai di CKG, lalu bengong sambil mikir: langsung taksi ke hotel atau jalan ke Gambir dulu pakai bus DAMRI. Akhirnya aku pilih DAMRI sambil ngelihat dan ngapalin jalan (sambil otakku mengingat peta yang kubuka tadi di halte bandara). Oke, ngeliwati Taman Anggrek (kok kayak apartemen, bukan mall?). ‘Kan Twin Plasa dekat Taman Anggrek, di mana? Lewat! Habis aku nggak tahu. Sangkain juga yang tadi bukan mall Taman Anggrek meskipun jelas-jelas titelnya Taman Anggrek (gak pakai mall atau mal, soalnya). (Baru kemudian aku tahu bahwa itulah memang mall Taman Anggrek, hanya saja meskipun dekat dari Twin Plaza, ke sananya musti pakai taksi! Tak mungkinlah menyeberangi 5-6 jalan tol yang bersilang sengkarut nggak keruan)
Sampai di Gambir 1 jam kemudian, sempatin makan di warung Padang lalu cari Blue Bird. Ternyata pangkalan Blue Bird ada di belakang, disamping Musholla Sta Gambir. Jadilah aku pakai Blue Bird ke Twin Plaza. Hanya 20.000. Check in dapat kamar 508. Saat ini lagi nungguin waktu meeting yang katanya nanti jam 16.00.
Setelah rapat baru aku tahu lebih jelas bahwa acaranya adalah menyusun guideline hibah untuk pengembangan bahan ajar pjj s1 pgsd. Ini proyek yang bakalan mengkompetisikan hibah senilai 90 – 135 juta untuk menyusun satu perangkat ajar beserta pernak-perniknya. Ada 5 anggota tim yang datang (Aku, SKM, Y, H, dan RDR) dari sejumlah undangan yang namanya tercantum di daftar. Jadi, ini pengalaman pertama aku ikut menyelesaikan guideline hibah yang didanai World Bank. Biasanya hanya menjadi penyusun proposal untuk meraih hibah saja!. Bila dana dari World Bank jadi turun, tampaknya bakal ada hibah yang cukup besar bagi teman-teman pgsd sampai tahun 2011. Nggak tahu, dilibatkan jadi apa lagi nanti. Wait and see saja, lagian banyak yang harus aku rencanakan untuk 2008. malu sama pak Adi kalau nggak segera nyelesaiin sekolahku!
Sementara itu, Ana (dari lab SETS-nya prof. Bin) mengingatkan untuk menandatangani form proposal konsultan ICT di wilayah DIY. Apa daya, saat ini aku masih di Jakarta. Ana bilang, berkas akan dikirim via email untuk ditandatangani dan kemudian dikirim sendiri ke suatu alamat di Jakarta. NPWP bisa menyusul. Gak tahulah, gimana nanti saja!
Percakapan rame-rama 3 pihak: ibu E (ITB), tim kami, dan Dikti menjadi inspirasi setidaknya dalam 2 hal, yaitu:
• Kok begitu cara berfikirnya ibu E yang notabene dosen eksakta di PT unggulan di Indonesia?
• Apa benar bahwa teman-teman PGSD (sebenarnya: LPTK secara umum) benar-benar seperti yang digambarkan: terlalu sedikit orang dan terlalu rendah kualitasnya untuk menerima guyuran dana antara 90 – 135 juta untuk pengembangan satu mata kuliah?
Ibu E mempertanyakan begitu besarnya dana yang diguyurkan (diantara banyak dana-dana dan program lain yang bisa membuat teman-teman PGSD ‘keplepeken’), padahal buku kualitas bagus lengkap dengan teaching kit (ppt, web ready LOM) hanya berharga 1-2 juta. Dari sisi ini saja sudah ada cara pikir yang salah, yaitu membandingkan produk jadi yang dibeli eceran tiap eksemplar dengan ‘biaya pengembangan’. Aku menyarankan untuk membuat pembandingan yang lebih rasional: bandingkan biaya pengembangan buku PJJ PGSD yang nilainya 90 – 135 juta itu dengan misalnya, membeli hak cipta buku yang bagus namun ‘murah’ itu (plus biaya menterjemahkan dan memproduksinya), atau dengan bila pemerintah membeli buku tersebut sebanyak 1000 eksemplar lebih (sesuai jumlah mahasiswa PGSD). Pasti akan jauh lebih mahal membeli buku itu. Lagian, dengan memproduksi (yang hanya berbiaya 90 – 135 juta) teman-teman di PGSD mendapat pengalaman menulis dan mengembangkan kit pelengkapnya. Ini semacam hidden agenda dari rencana kompetisi DIPBP. Memang, akhir-akhir ini di PGSD terlalu banyak hibah untuk dikerjakan dengan baik. Bahkan terkesan orang-orang di luar PGSD terkesan menjadi seperti semut mendekati gula karenanya. Tentu ini sebenarnya kesalahan Pusat dalam mencermati kapasitas institusi yang diawasinya.

OK, at least tugas penyusunan Guideline DIPBP untuk sementara telah berakhir. Jam 09.15 aku bergegas ke bandara. Dari Twin Plaza lalu lintas cukup lancar. Ongkos taksi yang aku bulatkan menjadi 80.000 rasanya menjadi cukup mahal mengingat apa yang diberikan Dikti sebagai honor atau pokoknya ‘take home pay’ (artinya termasuk bati dari tiket) selalu berkecenderungan mengecil dari hari ke hari, dari subdit satu ke subdit lain. Tidak terlalu menjadi persoalan sebenarnya. Anggap sebagai pengalaman saja. Rasanya aku sudah harus mulai fokus ke aplikasi ICT di pendidikan saja deh setelah selesai sekolah.

Setengah jan kemudian aku sampi di bandara SH. Sialnya, penerbangan pesawat ketunda 2 jam. Jadi baru akan terbang jam 13.25. Mula-mula hanya ada Aqua, tapi beberapa saat kemudian diumumkan ada service lain: nasi kotak + ayam dari AW. Buat Ido saja, kali.

Sunday, December 16, 2007

Medan 3 – 8 Desember 2007

Acara sesungguhnya dimulai dari tanggal 3 dan berakhir tanggal 7 Desember jam 11.00 pagi, tapi aku baru bisa pulang 8 Desember 2007. Seperti biasa acaranya adalah Training/Workshop on ICT for Quality Improvement of Graduate Study. Dengan pak AS, aku di kamar 130, lantai 2, hotel tua Inna Dharma Deli. Lokasinya sesungguhnya bagus. Dekat dengan gedung tua Balaikota Medan, berseberangan dengan kantor pos yang pada dinding depan luarnya tertulis “Anno 1911” (sayang aku nggak sempat masuk lihat interiornya). Di seberangnya lagi ada Merdeka Walk, semacam food bazar sekaligus tempat kongkow anak muda (kebanyakan amoy Medan). Berbatasan dengan Merdeka Walk, ada tanah lapang. Agaknya semacam lapangan publik. Di salah satu ujung lapangan ada pendapa, mirip pendapa Kabupaten (barangkali juga memang pendapa Kota Medan). Di depan pendapa itu, ada tanah lapang yang pinggirnya berupa jogging atau running track. Anehnya, di sekeliling tepian lapangan, terdapat banyak peralatan gimnastik (beberapa sky walker, dan alat-alat lain dari besi-besi kokoh) yang bisa dipakai gratis.
Mengelilingi lapangan sore hari, tanggal 7 Desember ketika tertinggal sendiri di hotel setelah rombongan terakhir (AR, BD, DP, dan AS) check out, aku banyak menemukan ‘keindahan’ tersembunyi di pusat kota Medan ini. Bangunan-bangunan tua mengelilingi lapangan dan lahan Merdeka Walk ini. Bangunan Balaikota (yang dibelakangnya siap berdiri hotel Astor (?), bangunan Bank Mandiri, stasiun Kereta Api, Kantor Pos, dan bangunan baru (hasil renovasi?) di pojok jalan seberang Pasar Buku dengan atap berarsitektur Cina, adalah contoh gedung-gedung eksotik yang semoga bisa terus dijaga bentuknya.
Kantor Pos Medan yang dibangun 1911 (foto diambil 7 Desember 2007)

Di Samping Dharma Deli, kelihatan jembatan penyeberangan di latar belakang

Inna Dharma Deli dilihat dari depan

Kamar 130, luas tapi tua dan kurang terawat!

Merdeka Walk, dari arah Balaikota

Nah, bangunan tua yang bagus bukan? Kayak bangunan di kota lama Semarang

Rumah tingkat berarsitektur Cina, dilihat dari Pasar Buku

Stasiun Kereta Api Medan, dilihat dari sebuah kios di Pasar Buku

Pohon-pohon besar di sekeliling lapangan, membatasi Merdeka Walk dengan jalan raya yang mengelilinginya, adalah contoh bagaimana pohon-pohon tua ini masih bisa dilestarikan. Paginya, ketika pakai ‘taksi’ hotel menuju bandara, baru aku tahu bahwa ternyata pohon-pohon besar di pinggir jalan di Medan ini nyaris seperti pohon-pohon besar di kota Bogor. Menurut sopir ‘taksi’ hotel (yang sebenarnya Kijang Inova), pohon-pohon itu memng peninggalan sejak jaman Belanda.
Kalau dipikir-pikir sih, Semarang juga punya sudut menarik, yaitu bangunan kuno yang terutama berada di wilayah kota lama. Tapi, pohon-pohon besar di pinggir jalan di Semarang nyaris tidak ada. Paling-paling pohon yang agak-agak ‘kuno’ ada di sepanjang jalan Sultan Agung. Pohon randu alas tua yang dulu ada di pojok jalan Diponegoro, di depan Vina House, sudah raib nyaris setahun lalu, setelah beberapa bulan bertahan dengan diukir segala (konyol, pohon hidup diukir!!).
Kotor dan semrawutnya kota Medan juga mewakili kotor dan semrawutnya nyaris semua kota lain di Indonesia. Becak motor maupun becak sepeda dengan tempat penumpang di samping (bukan di depan seperti di Jawa) berseliweran di mana-mana. Angkot ngebut dan ngerem tiba-tiba banak ditemui. Sampai-sampai pak AS tidak berani menyeberang lantaran nggak percaya mereka angkot atau mobil-mobil punya rem.
O, ya, ada jembatan penyeberangan yang menghubungkan lahan Inna Dharma Deli dengan lahan Kantor Pos. Tapi, jembatan penyeberangan itu sudah karatan lantainya dan rupanya menjadi tempat menginap seorang tunawisma. Bekas-bekas nasi bungkus berserakan di lantai jembatan menjadikan kesan kotor dan kumuh, cermin ketidakmampuan pemerintah kota merawat kotanya.
UMSU, singkatan dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, menjadi host pelatihan kali ini. Tidak jelas, apa pertimbangannya menjadikan universitas ini menjadi tempat pelatihan. Laboratorium komputernya sempit sehingga 30 peserta berdesak-desakkan, ditambah listrik yang voltasenya naik-turun dan aircon yang tidak dingin, menambah derita para peserta pelatihan (juga instrukturnya!). Untung, kami instruktur, bisa menempati ruang direktur LP3AI yang lumayan sejuk. Hari pertama benar-benar menjadi siksaan bagi para instruktur yang standby karena memang tak ada tempat buat ngumpul. Baru pada hari kedua, pak AS yang kenal dengan direktur LP3AI, minta ijin ‘nunut’ di ruangan beliau. Untungnya lagi, direktur tersebut kemudian pergi ke luar kota, sehingga kami bebas menggunakan ruangannya.
Rumor bahwa bu PP mau lengser dari SMLC mendapat konfirmasi langsung dari sumber utamanya. Bu PP mengatakan pasti!, kendati memang belum ada keputusan hitam di atas putih. Jadilah, kalau belum ada sertijab, per 1 Januari 2008 bu PP akan menjadi ‘hanya’ acting director. Sayang juga, sebab direktur SMLC yang ini sepertinya lebih membuat SMLC dikenal luas dibanding dengan dua direktru sebelumnya. Sayang juga, program PJJPGSD yang diawalinya bisa terancam kelangsungannya (setidaknya style kepemimpinannya diperlukan untuk terus mengawal program baru itu setidaknya sampai meluluskan satu angkatan). AR memberiku cerita banyak tentang kepribadian dan keseharian direktur SMLC ini, termasuk apa yang semula kuanggap sebagai nama ‘marga’ atau ‘fam’ yang dimilikinya.
Malam-malam, bersama AS dan AR, makan kerang di Merdeka Walk. Lalu nyusul DP dan BD yang kemudian beli ice cream di McD. Sempat beliin kaos untuk Ido.

Wednesday, December 05, 2007

Rasanya novel Laskar Pelangi ini harus aku beli. Baru baca disini saja aku sudah berkaca-kaca. Kalau saja Ido mau membaca (eh, dia bisa baca dan paham isinya berita2 olahraga, mustinya dia bisa juga baca dan pahami novel. Gimana ya caranya bikin dia seneng baca novel?