27 Agustus 2008
Alhamdulillah, Ido akhirnya jadi dikhitan. Semua bermula ketika hari Sabtu, 23 Agustus 2008. Aku dan Mamanya Ido berkonsultasi dengan dr. Nindyawan mengenai kemungkinan Ido di-sirkumsisi (aku pakai istilah itu agar Ido tidak tahu bahwa konsultasi ini adalah untuk rencana khitannya) beserta cara dan resikonya. Kepada Ido, Mama selalu mengatakan Ido tidak disunat, hanya 'dibersihkan burungnya'. Ketika dokter melakukan pemeriksaan awal, Ido-pun tidak ragu-ragu membuka 'burungnya'. Kami kaget juga ketika dokter mengatakan: "Senin saja tindakannya ya Pak, Bu. Sebaiknya datang siang sekitar jam 13 supaya tidak kena charge dua hari. Sorenya baru dilakukan tindakan"!. Tanpa berpikir panjang, kami mengiyakan. (Berapa biayanya ya?)
Maka hari Minggu, 24 Agustus, aku pesan kamar untuk Ido. Dapat di Angela no 76. Dulunya itu kamar VIP tapi karena fasilitas teleponnya tak ada maka untuk sementara dijadikan kamar kelas 1.
Hari Senin tanggal 25 Agustus, kami bertiga berangkat ke RS Elisabeth, persis sepertinya ketika dulu membawa Mama Ido mau operasi (3 kali operasi besar!). Jam 12 lebih kami telah sampai ke Elisabeth, dan setelah mengurus administrasi (tanpa diharuskan menitip uang dulu!) kami bertiga menuju kamar Angela no. 76. Setelah basa-basi singkat, perawat mengatakan bahwa tindakan akan dilakukan jam 18.00.
Lucunya, tepat jam 18.00, Ido yang gelisah menunggu dokter. Dikatakan kepadanya bahwa 'pembersihan' akan dilakukan di ruangan lain. Ido sempat ke ruang perawat dan menanyakan kapan akan 'dibersihkan' burungnya, tentu dengan Papa sebagai penerjemah kata-katanya. Maka jam 18.20-an, ketika perawat akhirnya datang dengan kursi roda, Ido dengan sigap mengganti bajunya dengan baju putih dari perawat dan duduk di kursi roda. Tentu saja kami terharu melihat dia sama sekali tidak takut (saat itu sudah datang teman-temannya Mama Ido, bu dan pak Warsono dan mbak Atik). Ramai-ramai kami mengantar Ido ke ruang operasi.
Satu-satunya protes Ido adalah ketika mau dibius. Mulut dan hidungnya dipasang masker. Untunglah, protesnya tidak lama, setalah Mamanya membujuk jadilah Ido mau mengenakan masker dan ....... tidur!. Ok, kami keluar dan menunggu. Kira-kira 30 menit operasi selesai. Ido masih tidur di atas bed operasi, tak berdaya. Tak sampai 5 menit, Ido terbangun dan mulai memeriksa 'burungnya'. Protes mau segera kembali ke kamar. Konyolnya, nunggu susternya sampai 10-menitan sebelum akhirnya benar-benar diantar ke kamar dengan kursi roda.
Membayangkan Ido bakal kesakitan sekitar tengah malam membuat kami susah tidur. Anehnya, sampai pagi tidak ada tanda-tanda Ido kesakitan. Bahkan bangun sendiri untuk pipis. Hanya saja, jam 04.30 Ido muntah dan lemas. Paginya, sebelum sarapan, Ido diberi obat oral, katanya untuk pelapis lambung. Sampai dokter datang dan kami konsultasi, Ido belum makan pagi. Nasihat dokter, lebih baik kalau disuntik agar tidak muntah. Untuk mengatakan suntik inipun dokter harus mengajak aku keluar supaya Ido tidak dengar. Pada akhirnya sih Ido nurut disuntik, dan malahan tidak tampak tanda-tanda ia kesakitan. Hanya ketika perawat menekan bekas luka suntik agar perdarahan berhenti, Ido terjingkat: "Sakit"! katanya. Bereslah, setengah jam lagi Ido boleh makan pagi.
Benar juga, sampai siang (jam 11-an) Ido tidak muntah. Lalu kami merencanakan siang itu juga pulang, setelah membereskan urusan administrasi.
Akhirnya kami meninggalkan rumah sakit jam 16-an. Dibekali obat penghilang nyeri dan anti biotika serta salep untuk luka. Sebenarnya, bagi kebanyakan anak, khitan adalah hal biasa. Bagi Ido, sebenarnya bagi kami orangtuanya, khitan adalah peristiwa sangat penting karena beberapa hal. Pertama, karena harus bius total (istilah dokter: general anaesthesi) aku takut dengan proses reanimasinya (menyadarkan kembali dari pengaruh bius). Bius total dilakukan mengingat postur Ido yang tinggi besar (165 cm/69 kg) dan autis. Sulit diduga reaksinya bila ia ketakutan, karena bisa saja ia tidak malu-malu menendang atau lari dari meja operasi. Kedua, Ido mengidap asthma, meskipun jarang sesak napas karena lebih sering muncul seperti gatal-gatal di kulit.
Dalam perjalanan pulang, ia berencana mau mampir ke KFC di Gelael Candi untuk membeli ayam satu ember dan poffertjes. Yang terakhir ini aku sungguh nggak tahu, makanan apa gerangan. Ido tahu dari iklan(!). Yah, diturutin lah, karena dulu ketika aku sunat juga membebani Ibu dengan beberapa keinginan yang juga dengan serta merta diberikan. Yang paling enak dulu adalah, sebagai obat (katanya!) tiap hari aku beroleh lauk istimewa, yakni ikan lele yang dibumbu (namanya bumbu srapah, entah terdiri dari apa saja itu?) dan dibakar. Harap maklum, saat itu lelenya benar-benar lele liar, bukan lele dumbo. Jadi, ya gurih banget. Kalau lele dumbo, sulit dibakar/dipanggang karena dagingnya pasti berjatuhan.
Sampai rumah, Ido kami suruh tidur (kan sudah mandii sore di rumah sakit).
Sebelum burung dibersihkan
Di depan ruang operasi, menunggu perawat menjemput (ka-ki: perawat, ido, pak wrs, mama ido)
No comments:
Post a Comment