Medan 3 – 8 Desember 2007
Acara sesungguhnya dimulai dari tanggal 3 dan berakhir tanggal 7 Desember jam 11.00 pagi, tapi aku baru bisa pulang 8 Desember 2007. Seperti biasa acaranya adalah Training/Workshop on ICT for Quality Improvement of Graduate Study. Dengan pak AS, aku di kamar 130, lantai 2, hotel tua Inna Dharma Deli. Lokasinya sesungguhnya bagus. Dekat dengan gedung tua Balaikota Medan, berseberangan dengan kantor pos yang pada dinding depan luarnya tertulis “Anno 1911” (sayang aku nggak sempat masuk lihat interiornya). Di seberangnya lagi ada Merdeka Walk, semacam food bazar sekaligus tempat kongkow anak muda (kebanyakan amoy Medan). Berbatasan dengan Merdeka Walk, ada tanah lapang. Agaknya semacam lapangan publik. Di salah satu ujung lapangan ada pendapa, mirip pendapa Kabupaten (barangkali juga memang pendapa Kota Medan). Di depan pendapa itu, ada tanah lapang yang pinggirnya berupa jogging atau running track. Anehnya, di sekeliling tepian lapangan, terdapat banyak peralatan gimnastik (beberapa sky walker, dan alat-alat lain dari besi-besi kokoh) yang bisa dipakai gratis.
Mengelilingi lapangan sore hari, tanggal 7 Desember ketika tertinggal sendiri di hotel setelah rombongan terakhir (AR, BD, DP, dan AS) check out, aku banyak menemukan ‘keindahan’ tersembunyi di pusat kota Medan ini. Bangunan-bangunan tua mengelilingi lapangan dan lahan Merdeka Walk ini. Bangunan Balaikota (yang dibelakangnya siap berdiri hotel Astor (?), bangunan Bank Mandiri, stasiun Kereta Api, Kantor Pos, dan bangunan baru (hasil renovasi?) di pojok jalan seberang Pasar Buku dengan atap berarsitektur Cina, adalah contoh gedung-gedung eksotik yang semoga bisa terus dijaga bentuknya.
Kantor Pos Medan yang dibangun 1911 (foto diambil 7 Desember 2007)
Di Samping Dharma Deli, kelihatan jembatan penyeberangan di latar belakang
Inna Dharma Deli dilihat dari depan
Kamar 130, luas tapi tua dan kurang terawat!
Merdeka Walk, dari arah Balaikota
Nah, bangunan tua yang bagus bukan? Kayak bangunan di kota lama Semarang
Rumah tingkat berarsitektur Cina, dilihat dari Pasar Buku
Stasiun Kereta Api Medan, dilihat dari sebuah kios di Pasar Buku
Pohon-pohon besar di sekeliling lapangan, membatasi Merdeka Walk dengan jalan raya yang mengelilinginya, adalah contoh bagaimana pohon-pohon tua ini masih bisa dilestarikan. Paginya, ketika pakai ‘taksi’ hotel menuju bandara, baru aku tahu bahwa ternyata pohon-pohon besar di pinggir jalan di Medan ini nyaris seperti pohon-pohon besar di kota Bogor. Menurut sopir ‘taksi’ hotel (yang sebenarnya Kijang Inova), pohon-pohon itu memng peninggalan sejak jaman Belanda.
Kalau dipikir-pikir sih, Semarang juga punya sudut menarik, yaitu bangunan kuno yang terutama berada di wilayah kota lama. Tapi, pohon-pohon besar di pinggir jalan di Semarang nyaris tidak ada. Paling-paling pohon yang agak-agak ‘kuno’ ada di sepanjang jalan Sultan Agung. Pohon randu alas tua yang dulu ada di pojok jalan Diponegoro, di depan Vina House, sudah raib nyaris setahun lalu, setelah beberapa bulan bertahan dengan diukir segala (konyol, pohon hidup diukir!!).
Kotor dan semrawutnya kota Medan juga mewakili kotor dan semrawutnya nyaris semua kota lain di Indonesia. Becak motor maupun becak sepeda dengan tempat penumpang di samping (bukan di depan seperti di Jawa) berseliweran di mana-mana. Angkot ngebut dan ngerem tiba-tiba banak ditemui. Sampai-sampai pak AS tidak berani menyeberang lantaran nggak percaya mereka angkot atau mobil-mobil punya rem.
O, ya, ada jembatan penyeberangan yang menghubungkan lahan Inna Dharma Deli dengan lahan Kantor Pos. Tapi, jembatan penyeberangan itu sudah karatan lantainya dan rupanya menjadi tempat menginap seorang tunawisma. Bekas-bekas nasi bungkus berserakan di lantai jembatan menjadikan kesan kotor dan kumuh, cermin ketidakmampuan pemerintah kota merawat kotanya.
UMSU, singkatan dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, menjadi host pelatihan kali ini. Tidak jelas, apa pertimbangannya menjadikan universitas ini menjadi tempat pelatihan. Laboratorium komputernya sempit sehingga 30 peserta berdesak-desakkan, ditambah listrik yang voltasenya naik-turun dan aircon yang tidak dingin, menambah derita para peserta pelatihan (juga instrukturnya!). Untung, kami instruktur, bisa menempati ruang direktur LP3AI yang lumayan sejuk. Hari pertama benar-benar menjadi siksaan bagi para instruktur yang standby karena memang tak ada tempat buat ngumpul. Baru pada hari kedua, pak AS yang kenal dengan direktur LP3AI, minta ijin ‘nunut’ di ruangan beliau. Untungnya lagi, direktur tersebut kemudian pergi ke luar kota, sehingga kami bebas menggunakan ruangannya.
Rumor bahwa bu PP mau lengser dari SMLC mendapat konfirmasi langsung dari sumber utamanya. Bu PP mengatakan pasti!, kendati memang belum ada keputusan hitam di atas putih. Jadilah, kalau belum ada sertijab, per 1 Januari 2008 bu PP akan menjadi ‘hanya’ acting director. Sayang juga, sebab direktur SMLC yang ini sepertinya lebih membuat SMLC dikenal luas dibanding dengan dua direktru sebelumnya. Sayang juga, program PJJPGSD yang diawalinya bisa terancam kelangsungannya (setidaknya style kepemimpinannya diperlukan untuk terus mengawal program baru itu setidaknya sampai meluluskan satu angkatan). AR memberiku cerita banyak tentang kepribadian dan keseharian direktur SMLC ini, termasuk apa yang semula kuanggap sebagai nama ‘marga’ atau ‘fam’ yang dimilikinya.
Malam-malam, bersama AS dan AR, makan kerang di Merdeka Walk. Lalu nyusul DP dan BD yang kemudian beli ice cream di McD. Sempat beliin kaos untuk Ido.
No comments:
Post a Comment