'Tumbak Cucukan' (atawa Cerita tentang S, S, dan S)
Bagi yang tidak tahu makna ungkapan 'tumbak cucukan', baiklah aku jelaskan. 'Tumbak cucukan' adalah istilah bagi orang yang suka mengadukan kepada orang lain mengenai apa yang ia dengar. Gampangnya, ia pengadu. Berhati-hatilah dengan orang tipe ini kalau pada suatu ketika ia ada dalam satu perbincangan dengan anda, dan anda secara sengaja atau tidak menyebut nama-nama tertentu, mengkritik, atau menjelek-jelekkan nama-nama tersebut. Misalnya anda bilang: "si A itu nggak bener kebijakannya. Harusnya begini, bukan begitu! Apa boleh buat, daya pikirnya si A memang sebatas itu". Nah bila si tumbak cucukan ada di sekitar anda, bolehlah bersiap si A akan mendatangi lalu menempeleng anda, atas pengaduan si tumbak cucukan itu. Memang sih, itu hanya terjadi kalau si A memang sebangsa carnivora yang mau menelan apa saja termasuk omongan si tumbak cucukan. Mengapa si tumbak cucukan mengadu? Ada motif poleksosbud (mungkin juga hankamhuk) tentu saja. Dengan mengadu kepada si A, apalagi kalau A adalah seorang boss, maka sudah barang tentu boss akan 'berhutang budi' kepadanya, dan mungkin akan memberinya stempel orang yang setia kawan, eh setia sebagai bawahan. Cukup?
Oke, ini cerita tentang teman baikku si S, dan atasannya yang kebetulan juga kusebut saja sebagai S, dan si tumbak cucukan yang kok ya kebetulan si S juga.
Si S yang temanku, yang memang orangnya cablaka, blak-blakan, suka terus terang, dalam sebuah forum warung kopian (ini forum informal, gaya pak becak di warung kopi) entah disengaja entah tidak menyebut S yang pejabat sebagai 'preman' (ini juga konon, karena si S yang temanku juga nggak ingat). Nah besoknya, si S yang pejabat menelpon si S yang temanku agar menghadap. Tentu tanpa curiga, S temanku datang menghadap. Apa yang dibilang S pejabat? Begini: "Mas S, kok anda tega mengatakan saya ini preman? saya tersinggung nih". S temanku bengong, dan dengan tabah menjawab:" Lho ini masalahnya apa Pak?" Kapan saya ngomong? Dan siapa saksinya?" ."Pokoknya saya tersinggung, dan saya akan mengadu pada polisi". "Silahkan Pak, saya hanya ingin tahu, siapa saksinya?" Lalu S yang pejabat menyebut nama S yang pengadu. S yang temanku menjawab:" Oh, S yang gila itu?. Bisa kami dikonfrontir Pak?" tanya S temankui. "Silahkan, besok S saya panggil" kata S pejabat.
Keesokan paginya bertiga mengadakan pertemuan. S temanku didampingi atasan langsungnya (kali ini namanya bukan S) dan S tumbak cucukan juga didampingi oleh atasan langsungnya (juga bukan S namanya). S yang temanku kali ini justru menunjukkan kepremanannya dengan menyimpan celurit dalam ranselnya. Katanya, untuk menghabisi si tumbak cucukan itu. Nah dalam forum itu si tumbak cucukan kembali mengadu bahwa dirinya diancam S karena telah mengadukan konten obrolan warung kopi itu. Alhasil, S yang pejabat malah berlinangan air mata. Mungkin membayangkan terjadinya peristiwa pembunuhan dalam ruang kerjanya yang berkarpet dan dingin ber-AC itu.
Purna cerita, selesai begitu saja. Nggak ada pengaduan ke polisi, nggak ada banjir darah di karpet empuk di ruangan dingin. Yang ada cuma cerita. Dan aku? Sayangnya baru mendengar cerita ini langsung dari S yang temanku setelah peristiwanya berlangsung satu tahun.
Moral cerita:
1. Kalau jadi pejabat, jangan suka tipis kuping. Pejabat itu sudah umum jadi sasaran omongan, baik enak maupun tidak. Jangan berharap bisa memuaskan semua orang. Kalau sedikit-sedikit lapor ke polisi dan si terlapor dihukum, lama-lama habislah bawahannya, tinggal si tumbak cucukan. Mau jadi atasannya satu orang saja, dan punya satu-satunya bawahan ya si tumbak cucukan itu?
2. Kalau ingin menyenangkan atau menjadi antek seseorang, tidak usahlah menjadi tumbak cucukan. Lebih baik menyemirkan sepatu atasan, membukakan pintu mobilnya, atau menyalakan korek kalau beliauya mau merokok. Menjadi tumbak cucukan beresiko dimusuhi orang.
3. Kalau ingin ngomongin atau ngejelekin atasan, jangan di depan si tumbak cucukan. Pakai milis, facebook atau twitter. Biar lebih keren dan cepat terkenal.
Catatan:
Aku bingung, kenapa istuilahnya 'tumbak cucukan'? Ini menyalahi gramatika pembentukan istilah. Mestinya 'cucukan tumbak' atau 'ujungnya tombak', bagian yang berupa pisau tajam dan runcing. Konon mulut orang yang suka ngadu itu menjadi runcing, seruncing ujung tombak. Karena itu, orang yang suka mengadu disebut juga 'lancip lambene' (runcing bibirnya!).
Kalau pinokio sih, makin panjang hidungnya setiap kali bohong. Si tumbak cucukan makin runcing bibirnya kalau makin sering ngadu. He he he, mungkin saja ya?
Catatan lagi:
Cerita ini aku tulis untuk anda. Kebetulan tiga S beserta atasan-atasannya yang terlibat dalam cerita ini, bukanlah teman fesbuk saya. Maka akan aneh kalau mereka tahu konten fesbuk ini. Kalau itu terjadi, berarti ada dua kemungkinan: (1) si Tifatul secara diam-diam telah menyadap isi fesbuk ini dan melaporkannya ke S yang pejabat, (2) Ada juga tumbak cucukan yang seneng fesbukan (dalam rangka mencari bahan untuk dilaporkan!)